Langsung ke konten utama

Semangat, Zaza!

*Fiksi

Zaza mengambil sabit dan baskom merah yang sudah agak retak itu. Pagi ini gilirannya menyabit rumbut untuk makan Titi dan Titan, kelinci kesayangannya. Rintik hujan jatuh satu  satu di rambut hitam Zaza. Mungkin sisa hujan semalam atau akan hujan lagi? Zaza asyik dengan pikirannya sendiri.
"Zaa!"
Tin tiin
Zaza menengok arah suara itu. Seperti motor kakek. Benar saja, ada kakek dan nenek berdiri di bawah pohon coklat melambaikan tangan.
"Sini Za!" Terdengar suara bibi juga, saudara perempuan ibu. Ada sebuah mobil putih terparkir di halaman. 


Sayup sayup terdengar suara cekikikan anak anak mulai ramai.
Mata Zaza berbinar, tampaknya saudara saudara sepupunya datang dari Biaro. Ada paman dan bibi juga. Mereka berjalan beriringan sambil mengobrol dan tertawa.
"Iya Nek! Kak Sisi!  Dewi! Ira!" Seru Zaza membalas lambaian tangan mereka.
Zaza segera menyelesaikan pekerjaannya. Menggendong baskom merah dan berlari ke arah mereka.
"Asyiiiik ... Hari ini kita pesta!" Seru Zaza.
Mereka berpelukan, berjingkrak jingkrak kegirangan.
"Pesta apa niih?" Tanya ibu menggoda. Mereka menjawab dengan tawa. Ibu dan ayah tersenyum memperhatikan mereka. Keempat gadis itu terlalu bahagia. Sementara itu Ata, Maira, dan Aim masih asyik bersama Titi dan Titan di kandang.

Mentari mulai memanas, seluruh anggota keluarga bercengkrama penuh hangat dan mesra. Mereka duduk di halaman rumah yang berhadapan dengan Danau Singkarak. membentangkan beberapa lembar tikar pandan. 2 teko kopi luwak, mi panas, dan beberapa macam gorengan terhidang di tengah tikar. Sesekali terdengar suara tawa lepas dan obrolan yang tak henti. 

Setelah shalat ashar semua pulang ke rumah kakek di kaki bukit. Tinggal Zaza sekeluarga. Mereka berbalik pulang setelah melepas kerabatnya di pinggir jalan. 

Ibu merangkul pundak Zaza. Ayah berjalan pelan di sisinya. Ketiga saudaranya bermain kejaran  dengan Titi dan Titan. 

Sedari tadi Zaza memikirkan sesuatu. 

"Bu" Ucapnya. 

"Kakek hebat ya," Ibu memandangnya heran. 

"Kenapa? "

"Kata Ibu, dulu rumah Kakek itu rimba. Tapi sekarang sudah ramai. Aku juga pernah lihat foto kebun kakek, luaaaaaas sekali. Sekarang tinggal sedikit"

"Oh iyaa. Kakek memang hebat dan suka bekerja keras." 

"Apa Nenek juga bantu kakek mencangkul? " Selidik Zaza. Ia terkadang masih tidak percaya. Jangankan mengurus kebun yang luas, di halaman belakang rumah saja ia belum berhasil menanam bunga. 

Ibu tertawa, "Nenek membantu Kakek menjaga Ibu dan Bibi, menemani kami belajar, memasak, mencuci, membersihkan rumah, dan lainnya yang tidak bisa kakek kerjakan. Tanpa bantuan Nenek di rumah, pasti Kakek kesulitan mengurus kebun. 

"Oo begitu ya Bu, sama dengan yang pernah Zaza baca di buku perpustakaan Ibu. Di balik setiap lelaki hebat, ada wanita yang hebat."

"Oh ya? Zaza pernah baca?" Tanya ibu bersemangat. Zaza mengangguk malu. 

"Anak ibu sudah besar," Kata ibu menggoda. "Zaza.. Di balik setiap lelaki hebat bukanlah seorang wanita, karena wanita itu berada di sisinya, dia bersamanya, bukan di belakangnya. Zaza paham?"

Zaza menggeleng. 


"Hmm... Kakek itu hebat karena ada nenek yang selalu siap membantu mengurus kebutuhan kakek dan anak-anak kakek. Jadi Nenek dan Kakek itu, teman. Teman hidup. Teman itu berjalan pasti di samping kita, bukan di belakang kita." Urai ibu panjang. "

"Sedikit paham," Jawab Zaza berbinar. " Seperti Ayah dan Ibu, kalau berjalan selalu berdampingan." Ibu tergelak. "Bu... Zaza nanti tidak mau menikah."

"Hah? " Ibu tidak percaya dengan rungunya. "Menikah?" 

Zaza mengangguk samar. Ibu menahan senyumnya. Berusaha netral. 

"Kenapa?"

"Aku tidak mau jauh dari Ibu"

"Iya tidak apa apa. Nanti kita pikirkan lagi kalau Zaza sudah besar ya. Sekarang anak 9 tahun pikirkan sekolah saja dulu. Fokus." Ibu membuat telunjuk dan bu jarinya menjadi kaca mata. 

Mereka tergelak bersama. Menutup pintu dan membaca do'a. "Bismillaah.. "

Mentari sudah larut dalam tenangnya air danau. Meninggalkan pantulan kaca berwarna merah. Teduh, namun masih terasa hangatnya. 

------

Solok, 10 Februari 2022

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aim Senang Bersedekah

*Fiksi Hari ini ibu demam. Tubuhnya panas tapi menggigil kedinginan. Di luar mulai terang. Titi dan Titan menggaruk-garuk dinding rumahnya. Begitu cara mereka memanggil tuannya.  "Ata.. " Panggil ibu lemas.  "Ya Bu!" Sahut Ata setengah berteriak. Tangannya masih sibuk mengaduk kasar nasi goreng di atas api kompor. Ata memang belum mahir memasak. Tapi untuk keadaan darurat masakannya tetap ditunggu adik-adik.  Ata mematikan api kompor dan berlari ke kamar ibu.  "Ta, itu Titi sama Titan mungkin sudah lapar." "Ya Bu, biar Ata minta bantu Maira dan Aim. Nasi gorengnya belum selesai." Setelah melihat anggukan ibu, Ata segera memanggil Maira dan Aim.  "Ata, tunggu sebentar." Ucap ibu, ia berusaha bangun dan mengambil sesuatu dari bawah bantal. "Nanti setelah memasak, tolong antar amplop ini ke Pak Firdaus di mushala." Ata mengangguk mengerti. Setiap hari Jum'at memang ibu biasa menitipkan banyak amplop untuk anak yatim ke Pak Fi...

Suatu Malam Bersama Cu Wit

Beliau adalah tantenya suami saya. Adik perempuan mendiang ayah mertua yang paling kecil. Makanya ada embel-embel Uncu di depan nama beliau. Awal kami menikah, saya pernah jumpa Cu Wit beberapa kali. Interaksi kami hanya sekedarnya. Karena saya masih canggung menjadi menantu baru. Keluarga suami saya sangat banyak. Membuat saya sering bingung dan sulit mengingat nama nama dan wajah semua keluarga. Tapi ada satu hal yang khas di tengah kesulitan itu. Wajah mereka mirip-mirip, yang lelaki tampan-tampan dan yang perempuan cantik-cantik. Umumnya kehidupan mereka juga mapan dan berkecukupan. Saya gadis kampung yang pemalu, hanya bisa tersenyum saat berjumpa mereka. Tidak ada banyak kata yang bisa terucap. Sebab saya juga bingung, topik apa yang enak untuk dibahas. Suatu saat Fathan, anak pertama kami sakit. Waktu itu dia masih bayi, usia 11 bulan. Fathan demam tinggi, batuk dan sesak nafas. Semula kami bawa Fathan ke M. Natsir dan rawat inap di sana selama 3 hari. Tapi belum ada angsur...

Resensi Buku 61 Kisah Pengantar Tidur [IMRC 2015]

Meluruskan Persepsi Melalui Kisah Shahih Judul : 61 Kisah Pengantar Tidur diriwayatkan secara kasih shahih dari Rasulullah dan para sahabat Penulis : Muhammad bin Hamid Abdul Wahab Penerjemah : Munawwarah Hannan Penerbit : Darul Haq Tebal : 181 halaman Buku ini hadir sebagai wujud keprihatinan penulis dan penerbitnya dengan merebaknya hikayat dan kisah fiksi yang berbau syirik dan tahayul di tengah masyarakat. Baik dari media cetak maupun media elektronik. Kisah-kisah yang disuguhkan dalam buku ini bersumber dari Rasulullah salallahu’alaihi wassalam dan para sahabatnya. Yang tertuang dalam hadits shahih. Meliputi kisah para nabi, sahabat Rasulullah dan umat-umat terdahulu. Kisah-kisah di dalam buku ini sangat berbobot. Disampaikan dengan bahasa yang menarik. Dengan arti kata, tidak kaku dan tidak membosankan. Penulisnya juga terlihat lihai merangkum hadits yang satu dengan yang lainnya. Sehingga tidak jarang pembaca akan menemukan tokoh-tokoh dalam cerita berbicara d...