Dua Rembulan dalam Belanga (3-Keberanian)

*Fiksi

"Bapak... " Fira datang mengulurkan tangannya kepada Pak Rustam. Ia terkesiap, menarik kerah baju untuk menyeka air mata. Segera menyambut tangan Fira. Mendudukkannya di pangkuan. 
Dyah beringsut menjauh dari Bapaknya. Bu Ani mengekor di belakang Fira. Ia tersenyum penuh makna kepada Dyah. Apa yang perempuan itu mau? Dyah  mengetuk jantungnya yang mulai berdebar cepat. 
"Dyah, nanti kita berangkat dengan mobil tante Sonya. Kamu siap-siap saja, setelah Maghrib dia datang. 
Dyah terperangah. Apa ini? Pikirnya. Bahkan ia belum menyetujui permintaan Bapak tadi. Dyah semakin yakin, ini benar ide gila Bu Ani. Apakah perempuan itu ingin membuat dirinya mati perlahan? Bagaimana bisa ia memutuskan sepihak? Bagi Dyah, perbuatan Kedua orang di hadapannya kini akan membuatnya menjadi wanita malam. Wanita bejat yang tidak punya harga diri. Apapun alasannya. 

Dyah tidak mampu menolak setiap kata yang perempuan itu perintahkan. Seperti kutu loncat di dalam kotak korek api, Dyah tidak mampu keluar dari kurungan tak berjeruji. Tak mampu mengatakan 'tidak' untuk setiap hal yang tidak ia sukai. Padahal tidak sulit bagi Dyah untuk melarikan diri dari rumah itu. Tapi tetap saja ia tidak mampu. Dyah kesal kepada dirinya sendiri. 
"Dyah belum jawab, Bu" Kata Pak Rustam. 
"Ck, Bapak ini bagaimana. Diam itu artinya setuju, Pak." Bu Ani meraih tangan Pak Rustam, membawa suaminya keluar dari ruangan kecil itu. "Kalau sudah selesai ganti baju, tolong aku di dapur, ya." Ucap Bu Ani sambil berlalu. 
*
Bu Sonya menyodorkan selembar mini dress ke pangkuan Dyah. 
"Ganti dong baju kamu Dyah, ih kuno banget kamu, sayang," Ucap Bu Sonya ramah. 
Suara bass dari speaker tempat itu berdebum debum, menimbulkan bunyi getar yang keras di dinding dinding kaca seluruh ruangan. Kelap kelip lampu disko menyorot jelas hilang timbul pada pakaian di pangkuan Dyah. 

Gadis itu terbelalak melihat selembar mini dress hitam sepaha, tanpa lengan, dengan sedikit asesoris di dada. Bagaimana mungkin dia bisa nyaman dengan pakaian itu. Dia tak pernah berpakaian terbuka sedikitpun. Selama ini celana lebar panjang menutup mata kaki dan baju kemeja lengan panjang selalu menjadi favoritnya. Bahkan besok ia berencana ingin memakai hijab pergi bekerja. Dua lembar jilbab segi empat yang cukup lebar sudah ia beli tadi sepulang bekerja. Sampai sampai ia terlambat pulang. Sayangnya, ia belum sempat minta izin ke Bapaknya. 

"Hmm.. Saya coba dulu ya, Tante. Izin mau ke kamar mandi," Jawab Dyah takut takut. 
Bu Sonya mengangguk, memberi isyarat dengan jarinya agar Dyah segera ke kamar mandi."

Prang! Prang! Cssss! 
Terdengar suara kaca depan diskotik itu pecah, berkali kali dilempar batu oleh seorang lelaki bertubuh besar, tinggi dan berisi. Tampak seorang perempuan dengan rok mini marah marah di depannya. Mereka tampak sedang terlibat perdebatan sengit. Saling berbantah-bantahan dan tunjuk-tunjukan  dengan suara tinggi. 

Bisik-bisik sumbang terdengar sampai ke depan kamar mandi, tempat Dyah meringkuk bersembunyi. Orang-orang pun saling berdebat tentang siapa yang bersalah dari kedua orang itu. 
"Pria itu tidak tepat janji, kalau harga sekian, ya..jangan diubah-ubah lagi." Ucap seseorang. 
"Yang perempuannya juga tidak sabaran. Coba bicaranya jangan menyalak nyalak seperti guguk. Pasti dikasih itu," Timpal yang lainnya. 
"Ah, dia saja yang kere. Kalau tidak punya uang, kenapa juga berani kesini?" Celetuk yang lain lagi. 

Kaki Dyah gemetar. Tempat ini benar-benar mengerikan. Dyah berpikir cepat, mengumpulkan semua keberanian. Benar, dia harus segera pergi dari tempat itu. Pergi yang jauh. Tidak akan kembali ke sana, juga ke penjara yang tak berterali milik Bapak. 

Dyah menahan nafas. Tidak ingin membuat suara ataupun gerak yang mencurigakan. Kini semua mata dan pikiran terpatri kepada dua orang yang saling memaki di depan sana. Ini kesempatan baik untuknya segera menghilang. Tapi kemana? Dimana pintu belakang? Dyah menyipitkan matanya. Memutar kepala perlahan memandangi tiap sudut ruangan dengan bantuan  kilatan cahaya lampu yang hilang timbul dan warna yang berubah ubah.
Dyah melihat pintu oren yang dijaga satu orang berbadan besar. Hatinya menciut. 

Samar terdengar bunyi hujan mulai deras di atap. Suara dentuman musik masih terdengar keras dan berpacu dengan teriakan para penonton keributan sepasang manusia yang tadinya saling bermesraan. 

Duarrr.. Duarrr
Terdengar gemuruh dan petir terdengar bagai ledakan hebat di langit. Memekakkan semua telinga yang mendengar. Semua orang berteriak, menutup mata dan telinganya rapat rapat. 

Dyah mengusap jantungnya. Mengucap istighfar dan merapal doa saat mendengar petir yang semalam dihafalnya. 

سُبْحَانَ الَّذِيْ يُسَبِّحُ الرَّعْدُ بِحَمِدِهِ وَالْمَلاَئِكَةُ مِنْ خِيْفَتِهِ

Subhaanalladzi yusabbihur ra’du bihamdihi wal malaaikatu min khiifatihi

“Maha Suci Allah yang halilintar bertasbih dengan memujiNya, begitu juga para malaikat, karena takut kepadaNya”[1]

Hap!
 Seseorang menangkap Dyah dan menyorongkan jas hujan besar dari kepalanya. Dyah merasa tangannya ditarik. Orang itu serasa dikenalinya. Tapi gelap. Orang itu juga bermantel. Dyah tidak bisa melihat wajahnya. 
"Cepat keluar, " Bisikan samar  terdengar di telinga Dyah. Membesarkan hati Dyah. Tangan itu membawanya ke arah pintu oren yang ia inginkan. Dyah membuat langkah yang lebih lebar dari biasanya. Mengikuti langkah lebar pemilik tangan itu. Namun tetap tenang dan tidak bersuara. 

Dyah sampai di luar melalui pintu belakang, tanpa ada yang curiga. 
"Bapak, " Seru Dyah tertahan. Ia tak percaya. Wajah di hadapannya yang tengah memerah menahan tangis. 
"Jangan pernah kesini lagi," Ucap Pak Rustam pelan. Ia mengelus kepala putrinya. 
Dyah ingin berterimakasih dan memeluk Bapaknya. Mengusir rasa takut yang sedari tadi menghantui. 

"Bang Rustam!" Seseorang memanggil dari belakang. "Lari-lari aku mengikuti kamu, mau kemana?" Suara Bu Ani setengah berteriak, berpacu dengan bunyi hujan di atas atap. Ia mengatur nafasnya yang sesak. "Kamu datang tiba-tiba, sekarang mau keluar tiba-tiba juga! Dyah mana?" Cerocos Bu Ani, sambil mendengus kesal. 
"Ini, mengantar pelanggan baru! Katanya mau pulang!" Balas Pak Rustam datar. 
"Pergilah, Nak," Bisik Pak Rustam di wajah Dyah. Lelaki itu mendorong tubuh Dyah dengan ujung jarinya, sebagai tanda. Dyah mengangguk dan segera berlari menerobos hujan dan gelap. Ia tak tahu kemana harus pergi.
Memasrahkan semua kemelut rasa kepada Tuhannya. Allah Subhana wa Ta'ala. 

Bukankah tidak ada yang memberi, menghalangi, mendatangkan bahaya, dan mendatangkan manfaat kecuali Allah semata? usaha dengan anggota badan untuk meraih sebab termasuk ketaatan kepada Allah, sedangkan tawakal dengan hati merupakan keimanan kepada-Nya[2] 

Hanya Dia, Allah.. Satu satunya tempat Dyah bisa mengadukan semua. Bahkan, jika nyawanya dicabut sekarang juga ia sudah rela. Tapi tidak... Dia bahkan belum sempat memakai seragam putih abu-abu  seperti Rani. Jilbab yang baru dibeli kemarin pun belum sempat ia gunakan. 
Lantas jawaban apa nanti yang harus ia berikan jika Allah bertanya? Hadiah apa yang bisa Ia berikan untuk Bunda? 

Bukankah hakikatnya umur Bunda sekarang masih ada, karena masih ada dirinya yang berbuat ketaatan kepada Allah? Apapun amal kebaikan yang ia lakukan saat ini, akan mengalirkan pahala untuk Bunda. Itu pesan yang selalu Bunda katakan. Agar Dyah senantiasa menjaga dirinya sendiri. 

Kini saatnya tiba. Waktu yang selama ini ia tunggu. Menyelamatkan diri. Berlari jauh. sejauh jauhnya dari  tempat itu dan penjara tak berterali milik Bapak. Dyah bertekad akan memulai hidup baru. 

Solok, 16 Februari 2022

Catatan kaki
[1] Al-Muwaththa’ 2/992. Al-Albani berkata: Hadits di atas mauquf yang shahih sanadnya. Sumber : Kitab Hisnul Muslim Said bin Ali Al Qathanis
[2] Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku 61 Kisah Pengantar Tidur [IMRC 2015]

Untukmu... Suamiku

Drama Korea vs Hafalan Qur'an