Dua Rembulan dalam Belanga (2-Neraca Timpang)

*Fiksi

"Kenapa harus Dyah?" Tanya Pak Rustam membuang muka. 
"Dyah kan lebih besar, lebih kuat fisiknya. Kalau Tiara gampang masuk angin. Dia juga masih sekolah, kasihan nanti kalau kurang tidur." Bu Ani berusaha beralibi. Sampai kapan pun dia tidak akan merelakan Tiara kerja malam. Mencari uang tambahan untuk keluarga mereka itu tugas Dyah. Hanya dengan memuji anak sambungnya itu pria di hadapannya akan luluh. Apalagi ini sudah tahun keempat sejak pernikahannya dengan lelaki itu. Umur Dyah sudah 16 tahun. Sudah cukup untuk di bawa ke tempat dia dulu pernah bekerja. Pekerjaannya juga sangat mudah. Hanya menemani pria-pria kesepian minum,  main kartu dan memberi pujian kala mereka bernyanyi walaupun suaranya sumbang. 

"Kasihan dia, pagi juga kerja di restoran." Lelaki itu mulai menerawang."

"Coba Abang pikir, kalau ada Dyah disana. Dia bisa jadi mata-mata kita waktu 'main' sama teman-teman kamu. Kita bisa pasang umpan besar." Bu Ani mengembangkan tangannya meyakinkan. "Jadi, sawah mantanku bisa kita tebus. Kita buktikan kepada orang-orang, kita ini juga bisa bersaing." Binar binar keyakinan tampak jelas di mata Bu Ani. 
Pak Rustam tertegun. Hening sebentar. 
"Bagaimana kalau ada yang macam-macam? Dyah masih muda. Apalagi dia cantik,"
Suara Pak Rustam terdengar bimbang. Ia sibuk memainkan jemarinya. Mengurai resah yang mulai singgah. 

"Ada Sonya di sana, Bang. Ini pekerjaan aman." Bu Ani merangkul pundak suaminya yang tinggi. "Sonya itu temanku sejak lama. Kamu tenang saja." Ia menepuk pundak itu. Lelaki itu pasti akan tunduk kepadanya. 

Hari mulai petang. Cahaya menyengat mentari masih terasa di balik jendela. Bu Ani mulai menyiapkan makan malam. Dia sedikit kesal, biasanya Dyah sudah mengupas bawang dan merajang semua sayuran. Hari ini semua bahan masih utuh di dalam lemari pendingin. Bahkan, ayam untuk makan malam Fira, putri kecilnya juga belum diungkap. Agak terburu dia membersihkan semua bahan. Berat badannya yang kini mulai bertambah membuat kakinya tak kuat berdiri lama. 

"Tiara, bisa bantu ibu menyiangi bawang?" Bu Ani melongok di pintu kamar Tiara. 
"Capek, Bu! Barusan buat tugas untuk besok." Sahut Tiara. Matanya tak beranjak dari layar ponselnya. Ia bergeser ke tengah ranjang memeluk gulingnya. 

"Iya deh" Bu Ani tersenyum mengerti. 
"Kak Dyah kan ada Bu!" Ucap Tiara bersungut manja. 
"Dia belum pulang,"
"Ituuu barusan datang dengan ojek." Tiara menunjuk ke arah jendela. Samar terdengar deru mesin motor menjauh dari halaman depan. Kamar Tiara memang ada di bagian depan sehingga siapapun yang datang dan pergi bisa tampak dengan jelas. 
"Oke, " Jawab Bu Ani tenang. Ia lega, Dyah sudah tiba. Ia bisa istirahat. 

Bu Ani masuk ke kamarnya sebentar, mematut  rautnya dari atas hingga ke bawah. Tubuhnya yang cukup tinggi dan lebar, masih tampak menawan. Sedikit gumpalan lemak di perut dan lengan tak menyurutkan keindahan itu. Kulit wajah yang cerah dan terawat ditambah rambut ikal nan tebal sepunggung. Semua ini pengikat hati suaminya kini. Lelaki yang pertama kali ia temui di tempat hiburan malam. 
Entah mengapa, ia yakin akan bahagia bersama pria itu. Barangkali karena sesumbar yang ia dengar tentang harta warisan. Namun, belum tahu kapan. Ujungnya pun belum pernah terlihat. 
*
Dyah duduk di tepi ranjangnya. Mengusap minyak kayu putih di bagian betis. Betisnya tegang karena berdiri terlalu lama di depan westafel bersama tumpukan piring yang tak ada habisnya. Dyah membalur jemarinya dengan pelembab. Pikirannya terbang jauh dari raga. Teringat sapaan Rani, sahabatnya sewaktu awal masuk SMP dulu. Tadi Rani sudah memakai baju putih abu-abu. Menyapanya hangat, membuat ia rindu. Andaikan dulu ia tidak berhenti sekolah, tentu sekarang sudah memakai baju yang sama dengan Rani. Alangkah bahagianya hidup seperti Rani. Punya ayah ibu yang lengkap dan penyayang. Beda jauh dengan dirinya. Bundanya telah meninggal sewaktu melahirkan adiknya 6 tahun silam. Sedangkan Bapak, dari dulu sibuk bermain kartu dan memasang taruhan. Hidup mereka ditanggung keluarga Bapak dan hasil jualan keliling Bunda. 

"Dyah," Sapa Pak Bustam. Sedari tadi lelaki itu sudah duduk di belakang putrinya. 
"Eh, Bapak." Sahut Dyah tergagap. "Dyah tidak melihat Bapak masuk." Dyah tesenyum senang. Sejak kehadiran Bu Ani dan Tiara dalam kehidupan mereka, jarang sekali Bapak masuk ke kamarnya. Apalagi setelah Fira lahir. Seolah tak ada lagi hati Bapak untuknya. Mereka seolah terpisah jauh. Merasa asing satu sama lain. Kecuali.. Saat Bu Ani dan kedua anaknya tidak di rumah. Bapak akan kembali bersikap hangat, seperti dulu. Saat Bunda masih ada. 

"Bapak ingin bicara sesuatu." Kata Pak Rustam mulai membuka pembicaraan. 
"Iya Pak.. Dyah juga ingin bicara sesuatu sama Bapak," Sambut Dyah senang. 

"Dyah.. Bapak tahu kamu pasti lelah bekerja pagi sampai sore. Tapi Bapak juga bingung bagaimana cara membayar hutang yang selilit pinggang ini. Belum lagi kebutuhan harian kita yang tidak sedikit. Susu adikmu, Fira juga butuh ada terus."
Dyah mulai dihinggapi rasa tak nyaman. Kemanakah muara perkataan Bapak? Padahal tadi ia sudah terlanjur senang dengan kunjungan Bapak ke kamarnya. 

Dyah menunduk lesu, menyimak tiap kata yang Bapak ucapkan. 
"Bapak juga tidak tahu mau usaha apa? Modal sudah tidak ada." Suara Pak Rustam putus asa. "Bapak minta kamu bantu kerja malam, di tempat kerja Tante Sonya"

Deg. Dyah terkejut, ia tak habis fikir. Bagaimana Bapak bisa berfikir ke sana. Dadanya panas, kepalanya berdenyut. Ia menengadahkan kepala, berusaha menyimpan kembali buliran hangat yang meronta dari netra. 

"Pak.. " Ucapnya lirih. "Kenapa Dyah terus? Sedangkan Tiara.." Ia tak sanggup melanjutkan kata-kata. Bahunya berguncang. "Pak.. Dyah juga ingin sekolah, pakai seragam seperti Tiara." 
Dyah berusaha teguh. Ia tak boleh terlihat lemah atau pun mengeluh. 

Pak Bustam menarik nafas dalam. Ia menggamit tangan Dyah. Membawa ke dalam pelukan. Pelukan yang sudah lama Dyah rindukan. 
"Maafkan Bapak," Suara itu terdengar indah, namun menyesakkan bagi Dyah. Baginya, permintaan maaf Bapak adalah langkah maju Bapak untuk memaksakan kehendaknya. Barangkali bukan kehendak Bapak. Tapi kehendak ibu tirinya. Karena satu-satunya yang membuat Bapak selalu terpaksa adalah dia, Bu Ani. 

"Pak.. Kenapa dunia ini tidak adil kepada Dyah?"
Tak terdengar sahutan apapun dari Pak Rustam. Dyah merasakan dada Bapaknya ikut berguncang. 
"Ba.. pak.. sayang Dyah," Lirih Pak Bustam agak terbata. 

Solok, 14 Februari 2022


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku 61 Kisah Pengantar Tidur [IMRC 2015]

Untukmu... Suamiku

Drama Korea vs Hafalan Qur'an