Awan Hitam di Tepi Danau Singkarak

*fiksi

"Ibu! Ibu!" Gadis itu bergegas menghambur keluar dari selimutnya. Mencari ibu. Baru saja ia terbangun di pagi hari dan melihat  ayah dan ibu berlalu melewati pintu kamar yang terbuka. 

Mereka mau kemana ya? Ia bingung dan merasa sedih. Kenapa ayah dan ibu tidak memgajaknya? Ia berdiri di pintu rumah. Di luar masih agak gelap. Perahu kecil ayah tidak tampak di tepi danau. Ia berlari ke danau. Terlihat seseorang melambaikan tangan dan berteriak, "Jaga dirimu, Maira!"
Gadis kecil itu meloncat-loncat memanggil ibu dan ayahnya yang sudah berlalu ke tengah danau. 

Ia memangis dan meraung, hingga ketiga saudaranya terbangun dan menyusulnya keluar. 
"Kenapa kamu di sini Maira?" Tanya Zaza. 
"Ibu dan ayah pergi. Mereka pasti marah padaku!"
"Marah?" Ucap Ata heran. Ia pikir semua baik -baik saja semalam. 
"Kemarin aku bentak-bentak ibuu. Ibu tidak mau memasak untukku." Maira duduk di tanah meraung memanggil ibu dan ayah. 
Ketika saudaranya terdiam menatap Maira. Mereka seperti memikirkan sesuatu. Maira berhenti menangis, membalas tatapan mereka satu persatu. Mereka tersenyum. "Kita kejar" Ucap mereka serempak. 

Mereka berlari ke dalam rumah, mengambil bekal seadanya, memanggil dua kelici kesayangannya agar ikut bersama. 
"Titi! Titan! Ayo ikut, kita harus mengajak ayah dan ibu pulang!" Teriak Aim. 

Keempat bersaudara dan dua kelinci mereka berlari menyusuri pinggir danau. Mencari perahu kecil yang bisa mereka tumpangi. Sesekali kaki mereka terjerembab ke dalam lubang. Pinggir danau singkarak tidak rata, sebagian rimbun berumput. 

"Guk guk guk !! Rrrrrr"
Seekor hijam hitam berbulu lebat, ekornya pendek dan bermata tajam mengejar mereka. Ia terlihat ingin memakan Titi dan Titan. 
Mereka berlari semakin cepat dan berteriak. 
" Tolooong! " Sambil terus berlari. 
Ata berhenti sebentar, menyambar sisa tulang di atas rumput. 
Hup! ia berhasil melempar tulang itu ke seberang jalan. Anjing itu beralih mengejar tulang. 

Seorang nelayan sednag melepas  ikatan perahu di pinggir danau. 
"Paman, paman, boleh kami menumpang?" Tanya Zaza sambil mengatur nafas. 
Ata menjelaskan kepada nelayan apa yang mereka lakukan. 
Pria itu bersedia memberi mereka berenam tumpangan dengan satu persyaratan, mereka harus mendayung sampan. 

Mereka sepakat dan melanjutkan perjalanan. Menggerakkan dayung berempat, beradik kakak. Pria itu menurunkan tangannya ke dalam air. Mengambil sampah sampah yamg kebetulan mereka lalui. Memasukkannya ke dalam kantong hitam besar yang ja taruh di tengah dua kaki. 
Tiba tiba perahu terhenti. Bagian bawah perahu tersangkut jerat usang. Pria itu kesulitan melepas temali. Keempat anak dan kelinci mereka ikut melongok di pinggir perahu. Seketika perahu oleng dan hampir terbalik. "Ibu!! Ayah!! Ibu!! Ayah!! Teriak mereka bersahut sahutan. 

" Ibuu! Ibuu! Ayah! " Maira berteriak menghambur keluar dari selimutnya. Wajahnya panik. Nafasnya tidak teratur. 
Di hadapannya duduk Ayah dan Ibu bedampingan. Tersenyum dan menyambutnya dengan pelukan. 
"Kamu mimpi buruk?" Tanya ibu. Maira mengangguk. Ia memeluk ibu sangat erat, hingga ibu sesak. Ibu tertawa gemas. 

"Baca do'a bangun tidur, sayang" Bisik ayah. Tangannya mengacak rambut Maira. 

Gadis itu berulang kali minta maaf kepada ibu. Ia berjanji tidak akan membentak ibu lagi, dan memakan apapun yang sudah ibu masak untuknya. Tidak lama kemudian, ketiga saudaranya terbangun. Mereka bermimpi buruk, mimpi yang sama dengan Maira. 

Apakah kemarin mereka benar-benar telah mengejar Ibu dan Ayah? Atau mereka sama-sama tidak berdo'a sebelum tidur? 
Entahlah. 

Memang, kehidupan ini tidak lain hanyalah seperti bayangan awan, mimpinya seorang yang tertidur. Tidak selalu indah dan hanya sebentar.. Maka bersikap baiklah selalu kepada orang-orang yang kalian sayangi. 

Solok, 9 Februari 2022

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku 61 Kisah Pengantar Tidur [IMRC 2015]

Untukmu... Suamiku

Drama Korea vs Hafalan Qur'an