Dua Rembulan dalam Belanga (1- Luka)

*Fiksi

"Bangun! Woi, pemalas!"
Byuuurr
Segayung air bak menggenang di kasur Dyah. Basah. Gadis 13 tahun itu terduduk mengusap wajahnya. Tanpa suara ia beranjak ke kamar mandi untuk bersuci dan shalat subuh. Bu Ani membiarkan gadis itu bermunajat. 

Dentang denting piring terdengar keras dari arah dapur. Bu Ani tengah kesal. Dia tidak suka jika harus bangun lebih awal dari Dyah. Semua pekerjaan rumah ini adalah tugas Dyah. Anak bawaan suaminya. Matanya masih mengantuk. Ia tak henti merutuki Dyah yang belum juga ke belakang. 

"Dyaaaaah!" Teriaknya marah. "Lama sakali. Kamu tidur lagi ya?! Dikira aku tidak capek apa?! Cari uang sampai tengah malam?!"
"Iya Bu.. " Sahut Dyah setengah berlari. Ia menerima spon berminyak dari Bu Ani. 
"Udah itu bereskan semua. Jangan lupa jemur baju yang dicuci semalam, itu mau aku pakai siang buat arisan. Setrikanya yang benar. Jangan ada yang kusut sudut-sudutnya. Itu kain sutra, bulunya mahal. Hati-hati kamu, jangan kepanasan setelan setrikanya." Bu Ani menjelaskan. Ia masih kesal. 
"Iya Bu.. " Jawab Dyah pelan. 
Setiap hari memang ada saja perilaku gadis itu yang membuat hati Bu Ani kesal. Bangun kadang-kadang terlambat, sering melamun, susah tersenyum ke teman-temannya yang singgah ke rumah. Belum lagi Dyah tak mau bertegur sapa dengan Tiara. Anaknya dengan mantan suaminya dulu. 
Untungnya Dyah masih bisa memberikan manfaat untuk keluarga mereka. Sejak awal tahun kemarin suaminya sudah menghentikan sekolah Dyah. Memintanya bekerja di rumah makan temannya. Dengan begitu gadis itu bisa membantu perekonomian mereka. Cukup melegakan, namun masih kurang untuk membeli skincare. Bisa-bisa kulitnya rusak jika kurang dirawat. 
*
Dyah  menata piring bersih tanpa suara. Bergegas ia menggantung semua pakaian basah di teras belakang. Jam 7 pas ia sudah harus sampai di restoran Pak Haris. Mencuci piring hingga jam 3 sore. Mulut Dyah mengatup, tangannya bergerak cepat. Dadanya terasa panas penuh sesak kabut hitam. Jika bukan karena menghormati Bapak, tidak sanggup ia menahan luka yang setiap hari ditorehkan Bu Ani. Ucapan Bu Ani terlalu tajam, bak pisau penjagal. Selalu saja perih mengiris jantungnya. Menghentak kalbu, memanaskan rongga. 
"Bunda.. Dyah rindu," Netranya hangat, menggenang bening yang tak boleh jatuh atau dilihat siapapun. Rasanya Dyah tak lagi ingin menghirup udara. Mengapa Tuhan tak mengambil saja nyawanya? Agar ia bisa berkubur di dalam tanah, memeluk Bunda. 

Solok, 13 Februari 2022




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku 61 Kisah Pengantar Tidur [IMRC 2015]

Untukmu... Suamiku

Drama Korea vs Hafalan Qur'an