Langsung ke konten utama

Hijrahku Hanya Untuk-Nya


Malang sakijok Mato, mujua sapanjang hari

Begitu petuah orang orang tua zaman dahulu. Pengajarannya sangat baik, agar anak anaknya lebih banyak bersyukur. Sebab, kesulitan (malang) hanya datang sekejap mata, hanya sebentar dan terkadang juga tiba-tiba. Sedangkan  kesenangan (untung) sepanjang hari Tuhan berikan. Aku memahami petuah itu demikian. Barangkali orang lain memaknainya dengan cara yang berbeda.

Sebagaimana petuah itu, demikian pula kehidupanku sekarang. Dengan adanya kesulitan yang sedikit, tak patutlah bagiku mengeluh dan mencela takdirNya. Sebab Nikmat yang Dia berikan jauh lebih banyak.
Di  bulan September aku dan suami bersepakat si Uni, anak kedua kami berhenti belajar di sekolah IT. Kami memilihkan tempat belajar baru untuk Uni. Dia pun menyukainya. Belajar di sekolah non formal Sunnah, di bawah bimbingan Ustadz Ustadzah tempat kami mengambil ilmu juga. Si Uda juga ikut private beberapa kali sepekan di tempat yang sama. Kami berbagi tugas mengantar jemput mereka. Sejak Awal  September itu pula kegiatanku bertambah satu lagi. Yaitu menjemput Uni dan Uda ke tempat belajar.  Jarak yang harus ditempuh cukup jauh dan ramai arus lalu lintas. Sekitar 25 menit dari rumah kami.

Suatu hari motorku terpeleset di jalan raya saat hendak menjemput Uni ke sekolahnya yang lama.  Untungnya motorku sedang melaju pelan dan mobil di depanku juga berhenti. Aku jatuh ke kanan dan terseret satu meter bersama motor. Alhamdulillah kondisiku baik baik saja. Tidak ada luka lecet, hanya ada memar di bagian paha. Aku segera mencari bantuan tukang pijit hingga ke berapa tempat sampai pinggang dan bahuku benar benar nyaman. Satu pekan setelah itu pinggangku masih terasa sangat sakit. Aku mendapatkan obat pereda nyeri dari dr. Yosti dan hasil ronsen menunjukkan ada yang tidak normal di tulang pinggangku. Namun, dr. Yosti mengatakan hal itu tidak berbahaya.

Qadarullah dua pekan setelah kondisiku membaik, terjadi kecelakaan lagi. Saat itu aku dan si Uda berkendara menjemput Uni ke sekolahnya yang baru. Hujan gerimis, jalanan basah. Kami masih asyik mengobrol saat itu. Tiba tiba motor jatuh dan seluruh bumi hening di telingaku. Aku jatuh berguling agak jauh dari motor hingga ke tengah jalan. Uda juga begitu. Alhamdulillah dia lebih siaga dariku. Ia berguling dengan cara aman versi dia. Mungkin karena sudah terbiasa di tempat latihannya. Sesaat aku tidak bisa berdiri.  Orang orang ramai datang membantuku   agar bisa segera pindah menghindari kendaraan lain dan menepikan kendaraan kami.

Aku bersyukur tidak ada satupun truk ataupun kendaraan berat lainnya yang melintas. Saat itu jalanan benar benar sepi dan kami selamat. Aku hanya mengalami sedikit luka lecet di kaki. Aku terisak dibalik cadarku mengingat butuh perjuangan terlalu besar untuk menyekolahkan Uni di sekolah Sunnah. Aku khawatir suamiku akan berubah pikiran karena hal ini.

Setelah kecelakaan kedua itu aku tidak melakukan pengobatan apapun. Benturan di pinggang dan bahuku memang lebih kuat dari kecelakaan sebelumnya. Tapi aku merasa tubuhku tidak sesakit waktu itu. Setelah itu, Aku banyak melamun. Pikiranku ke sana kemari. Kenapa Allah سبحانه وتعال  menjadikan keadaanku seperti ini? Pasti dosaku di sisi-Nya sangat banyak. Rasanya ujian datang bertubi-tubi kepadaku.

 Untuk berobat dan terapi setelah kecelakaan pertama aku menghabiskan cukup banyak uang. Sekarang hanya ada sedikit sisa tabungan. Rencananya aku akan menabung sedikit lagi untuk membeli beberapa setelan pakaian berwarna gelap.  Lalu berhijrah total seperti teman temanku di ta'lim. Andaikan terjadi kecelakaan sekali lagi mungkin aku akan mati. Mungkin akan mati. Mungkin akan mati dan tidak sempat mengubah cara berpakaianku lagi. Hanya pikiran itu yang berputar putar di kepalaku. Pada akhirnya aku memutuskan tetap tidak berobat, lalu aku memesan beberapa gamis  dan jilbab berwarna gelap di toko online. Dengan begitu, sekarang aku sudah punya lima setelan pakaian gelap. Insyaallah aku akan berusaha istiqamah.

Beberapa hari setelahnya aku kesakitan saat bernafas. Pinggang, punggung dan bahuku nyeri luar biasa. Aktivitas harianku jadi sangat terganggu. Aku menyerah, tidak kuat menahan sakit. Aku kembali berobat ke temanku, dipijat di seluruh badan, terapi kaki, dan totok punggung di sana hingga beberapa kali. Qadarullah, keadaanku tidak kunjung membaik. Aku berusaha mencari tempat lain untuk totok punggung, hingga bekam.

Di tengah malam pada hari yang sama aku merasakan sakit di pinggang hingga perut yang sangat kuat. Ada sensasi ditarik tarik yang tidak bisa aku jelaskan. Suamiku segera mengantarkan aku ke IGD M. Natsir. Alhamdulillah setelah beberapa jam di sana aku diperbolehkan pulang.

Lara, pemilik spa tempat aku berobat adalah seorang tenaga kesehatan juga. Berkali kali ia meyakinkan aku bahwa aku tidak mengidap autoimun. Menurutnya masalah kesehatanku di bagian perut saja. Kemungkinan batu empedu. Lantas ia menyarankan aku untuk konsultasi ke Rumah sakit M Natsir, di Poli G. Aku memilih percaya dengan ucapan Lara. Sebab, aku benar benar ingin segera sembuh. Juga berhenti minum Methil. Tubuhku semakin mengembang, berat dan sesak di perut efek obat steroid itu. Namun, aku tidak pergi ke poli G. Aku hanya minta informasi tentang makanan dan obat yang Lara gunakan, Karena Lara juga punya batu empedu.
Hingga 10 hari aku rutin minum lemon dan madu, apel, dan kelapa muda bakar. Keadaanku mulai membaik, tapi kemudian drop kembali setelah aku berhenti minum kelapa muda bakar.

Aku merasa seolah olah kematianku sudah dekat. Berkali kali wajah seorang teman kajian sekaligus Tante suamiku terlintas dalam ingatan. Dia yang Istiqomah dengan pakaian gelapnya sejak awal aku mengenal dia, hingga ia berpulang. Meski ujian pernikahannya cukup besar, ia tetap bertahan dengan pakain syar'i. Ia tutup usia dengan aurat yang tertutup rapat. Aku betul betul cemburu pada kematiannya. Aku juga ingin istiqamah seperti dia. Meninggal dalam keadaan yang baik dan aurat tertutup rapat.

"Wahai Allah .....tutuplah auratku dan tenteramkanlah jiwaku.

Wahai Allah...peliharalah aku dari depanku, belakangku, kiriku, kananku, dan dari atasku.

Aku berlindung dengan kebesaran-Mu agar tidak tersambar dari bawahku".

Solok, 21 Januari 2024
9 Jumadil Akhir 1445

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aim Senang Bersedekah

*Fiksi Hari ini ibu demam. Tubuhnya panas tapi menggigil kedinginan. Di luar mulai terang. Titi dan Titan menggaruk-garuk dinding rumahnya. Begitu cara mereka memanggil tuannya.  "Ata.. " Panggil ibu lemas.  "Ya Bu!" Sahut Ata setengah berteriak. Tangannya masih sibuk mengaduk kasar nasi goreng di atas api kompor. Ata memang belum mahir memasak. Tapi untuk keadaan darurat masakannya tetap ditunggu adik-adik.  Ata mematikan api kompor dan berlari ke kamar ibu.  "Ta, itu Titi sama Titan mungkin sudah lapar." "Ya Bu, biar Ata minta bantu Maira dan Aim. Nasi gorengnya belum selesai." Setelah melihat anggukan ibu, Ata segera memanggil Maira dan Aim.  "Ata, tunggu sebentar." Ucap ibu, ia berusaha bangun dan mengambil sesuatu dari bawah bantal. "Nanti setelah memasak, tolong antar amplop ini ke Pak Firdaus di mushala." Ata mengangguk mengerti. Setiap hari Jum'at memang ibu biasa menitipkan banyak amplop untuk anak yatim ke Pak Fi...

Suatu Malam Bersama Cu Wit

Beliau adalah tantenya suami saya. Adik perempuan mendiang ayah mertua yang paling kecil. Makanya ada embel-embel Uncu di depan nama beliau. Awal kami menikah, saya pernah jumpa Cu Wit beberapa kali. Interaksi kami hanya sekedarnya. Karena saya masih canggung menjadi menantu baru. Keluarga suami saya sangat banyak. Membuat saya sering bingung dan sulit mengingat nama nama dan wajah semua keluarga. Tapi ada satu hal yang khas di tengah kesulitan itu. Wajah mereka mirip-mirip, yang lelaki tampan-tampan dan yang perempuan cantik-cantik. Umumnya kehidupan mereka juga mapan dan berkecukupan. Saya gadis kampung yang pemalu, hanya bisa tersenyum saat berjumpa mereka. Tidak ada banyak kata yang bisa terucap. Sebab saya juga bingung, topik apa yang enak untuk dibahas. Suatu saat Fathan, anak pertama kami sakit. Waktu itu dia masih bayi, usia 11 bulan. Fathan demam tinggi, batuk dan sesak nafas. Semula kami bawa Fathan ke M. Natsir dan rawat inap di sana selama 3 hari. Tapi belum ada angsur...

Duhai Tuan

Duhai Tuan yang Budiman  Barangkali anda bisa lupa dengan saya Atau sekedar pura pura  Tapi saya tidak akan pernah lupa  Akan Tata Krama dan perilaku anda Duhai Tuan,  Saya lebih Sudi berpulang kepada-Nya Dari pada menyingkap tabir saya  Atas anda Bukan karena saya benci Maaf telah saya beri Tetapi bekas perihnya tak akan pergi  Solok, 3 September 2024 Catatan Ternyata masih ada dokter yang rasis saat ini. Ketika pasien terlihat wajah dia sangat ramah. Ketika pasien  tertutup wajahnya dia kembali ke setelan pabrik. Sangat pelit ilmu dan arogan. Padahal orangnya sama (pasien). Tapi diskriminasi tetap berlaku. Kesembuhan datangnya dari Allah. Bukan dari manusia. Tak satu jalan ke Roma. Tak satu pula orang pintar di negeri ini. Terimakasih untuk pelajaran berharga ini. Alhamdulillah saya berhasil melampauinya❤️🖋️