Di Persimpangan Hati Ryan

*Fiksi
Disclaimer:
Tulisan ini saya buat untuk kepentingan setoran tugas di kelas menulis SELIA. Dengan satu paragraf kunci untuk kemudian dikembangkan sendiri. Hati saya tergelitik dengan kasus tipu-tipu menjelang pernikahan. Maka jadilah cerita ini. Tulisan ini murni fiksi, ya...

Lift kantor mati. Aku berlari penuh semangat menuju tangga darurat. Lantai 20 tidak akan terasa sulit bagi hati yang tengah berbunga-bunga ini. Aku tidak sabar ingin memperlihatkan contoh undang ini ke Ryan. Dia pasti akan sangat menyukainya. 

Ryan, lelaki 29 tahun itu telah bangkit dari pilunya luka. Dia telah meminangku satu minggu yang lalu dihadapan kedua orangtuaku. Menurutnya, aku adalah seorang yang sangat berjasa dalam hidupnya. Seorang yang akan ia jaga selamanya. Seperti aku menjaganya selama ini, walaupun hanya sebatas teman. 

Aku teringat bagaimana kejadian setahun yang silam di salah satu toilet pria di kantor ini. Saat itu, aku salah masuk toilet karena terlalu terburu-buru. Aku sangat terkejut menemukan Ryan terbujur lemas di lantai dengan beberapa sayatan di bagian nadinya. Aku meminta bantuan security dan ikut mengantarnya ke rumah sakit. Menemaninya bersama Bapak hingga pulih, karena ternyata keluarga Ryan tidak ada di Jakarta. Mereka tinggal jauh di pulau Sumatera. Kondisi Covid 19 saat ini tidak memungkinkan untuk mereka mengurus Ryan di sini. 

Sudah sampai di lantai 18. Aku berhenti sebentar. Mengatur nafas yang mulai terengah. Kemudian mengelap peluh yang bercucuran di kening dan bagian dalam jilbab unguku dengan tissu. 

Fiuuhh, jantungku makin berdebar. Undangan seperti ini, akan segera tersebar. Barangkali teman-teman kantorku akan terkejut. Aku dan Ryan yang mereka kenal sebagai dua orang yang bersahabat dekat dan sudah seperti saudara, kini akan mengubah status menjadi pasangan dalam ikatan pernikahan. Semua orang tahu, bagaimana Ryan begitu mencintai mantan pacarnya, sampai sampai ia rela memotong urat kehidupannya karena tak sanggup melepas wanita itu untuk orang lain. Alahkah kebucinan yang bod**h menurutku. 

Namun, siapa yang bisa menebak hati seseorang? Kini hati Ryan telah beralih kepadaku. Aku pun tidak sanggup memungkiri, bahwa aku tertarik pada sahabatku sendiri. 

Akhirnya, sampai di lantai 20. Huff leganya. Aku mencari Ryan di bilik kerjanya. Tapi ia tidak tampak. Hanya ada beberapa map yang bertumpuk tidak rapi. Aku melongok ke kolong meja. Tas kerjanya masih ada. 

"Hei, Dessi! Nyari Ryan, ya?" Seseorang menepuk pundakku. Aku terperanjat. 

"Eh, Luna. Kaget aku. Bara mana?" Tanyaku tergesa. 

"Santaii.. Tuh ke kantin sama tamunya." Luna terkekeh meledekku. 

"Tamu?" Tanyaku heran. Setahuku Ryan tidak punya banyak teman di Jakarta. Dia sangat tertutup dan hanya sibuk bekerja. 

Nah, itu dia. Ryan sedang memesan makanan di depan kasir. 

"Assalamu'alaykum. Hei, Yan!" Sapaku seperti biasa. Ryan tertegun menatapku sejenak. Ia seolah enggan dengan kehadiranku. 

"Wa'alaykumussalam, hai.." Jawabnya sungkan. Dia terlihat gugup berjalan menuju meja 5. Seorang perempuan berambut panjang dengan stelan baju kaos dipadu celana jeans ketat. Sepasang sepatu putih bertumit rendah terlihat indah di kakinya. 

Aku tersenyum mengulurkan tangan. 
"Dessy," ucapku ramah. 

"Yulia," Jawabnya tersipu malu. "Bang Ryan  sudah banyak bercerita tentang, Mba," Ucapan Yulia terdengar sopan namun canggung. 

Dadaku memanas. Apakah Yulia yang itu? Yulia yang memutuskan hubungannya begitu saja dengan Ryan lewat sambungan telepon. Yulia yang telah mengkhianati Ryan. Ia tiba-tiba bertunangan dengan dengan seorang pemuda kaya di kampung mereka. Yulia yang telah menjadikan Ryan seperti mayat hidup, bahkan sampai hendak menghabisi nyawanya sendiri. 

Ck ah.. Bagaimana dia bisa di sini? Bukankah dia sudah bersuami? Bukankah Ryan sangat membencinya? 

"Hhm oh ya?" Sahutku tidak terkesan. "Barusan datang dari Palembang? Suaminya mana?" Tanyaku berbasa basi. 

Yulia terlihat tidak nyaman dengan rentetan pertanyaanku. 
"Oh, itu.. Itu.. " Jawabnya tergagap. 

"Mereka sudah berpisah. Mereka batal menikah. Calon suaminya sudah punya perempuan lain." Terang Ryan tidak bersemangat. "Itu bukan urusanmu, Des."

Aku melongo. Bagaimana bisa begitu. Ia gagal menikah. Lalu mencari Ryan sampai ke Jakarta? Apakah Ryan sudah bercerita tentang hubungan kami? Meskipun kami tidak berpacaran, tapi lamaran Ryan tempo hari sudah mengangkat hubungan kami ke tahap yang sangat serius. Lalu undangan ini? Aku bahkan belum memperlihatkannya. 

Aku menarik nafas, meredam gemuruh yang tak jelas di jantungku. 

"Oke, maaf" Ucapku menangkupkan tangan. "Oh, iya. Ini aku bawa sesuatu. Coba kamu lihat. Model undangan ini bagus kan? Sederhana, tapi terlihat elegan. Lihat gambar bunga kering di tengah sini." Aku menunjuk bagian tengah kertas undangan. "Bunga kering ini sangat indah, ya kan? Gimana, kamu suka?"

Ryan menatapku nanar. Tak ada binar yang terpancar dari kedua bola hitam nan indah itu. Sangat lesu. Ia menunduk dan berdehem. Seolah ada hal penting yang ingin ia sampaikan. Aku penasaran, rasanya ingin mengulik setiap kata yang berputar di benaknya. 

"Begini Dessy.. Sebelumnya aku ingin minta maaf. Mohon maaf yang  se-dalam dalamnya." Ia masih menekuk wajahnya. 
Aku diam menyimak semua denting kata yang keluar. "Sepertinya hubungan kita tidak bisa dilanjutkan. Aku.. Merasa tidak pantas untuk kamu. Kamu dan keluargamu terlalu baik. Orang kota dan terpandang. Sedangkan aku orang kampung, keluargaku miskin. Bahkan untuk berteman denganmu saja aku merasa tidak pantas." Ryan menatapku meyakinkan. 

Sungguh aku sudah bosan dengan kalimat itu. Kalimat basi yang selalu aku tangkis di waktu yang lalu. Aku menatapnya tajam, ingin mencari keyakinan di guratan dahinya. 

"Maksudnya apa? Lalu lamaran tempo hari? Kenapa kamu melamar aku?!" Aku hampir berteriak, menahan marah. 

"Itu.. Itu.. Karena aku ingin membahagiakan kamu, tapi aku belum bisa melupakan Yulia." Ryan berusaha meraih jemariku. Langsung aku menjauhkan tangan ke bawah meja. Biasanya ia tidak pernah mau menyentuhku walaupun seujung kuku. Katanya aku bagai mutiara di dalam jilbabku. 

"Karena Yulia kembali?!" Aku melirik Yulia. Perempuan itu hanya tertunduk dan membisu. 

"Hh itu.. Bukan. Ini hanya kebetulan. Kamu lebih pantas mengisi hati yang lain. Yang sholeh, yang mapan. Tidak seperti aku."

Kepalaku serasa hendak meledak melihat dan mendengar semua ini. Kuremukkan undangan itu di dalam genggamanku. Melemparnya ke atas panganan yang telah terhidang di meja. 

"Baiklah Ryan, terimakasih untuk semuanya!" Ucapku tegas. Netraku basah tak terbendung. 

Aku berlari ke toilet kantin hendak membasuh wajahku. Sungguh lelaki itu telah mencabik hatiku. Ini sangat memalukan. Kemana akan kusimpan mukaku? Aku menatap pantulan wajahku di kaca. Oh, tidak ini terlalu mendadak. Aku belum siap dengan kenyataan ini. Tapi.. Bukankah begini lebih baik? Aku mengetahui kebenaran ini sekarang. Dari pada nanti, setelah kami terikat janji suci. 

Hhhhh.. Ku tarik nafas panjang. 

Ryan.. Kamu benar, akan kutemukan hati lain yang bisa kuisi. Karena hati yang luka itu kini telah sembuh. Akulah sang penyembuh, akulah obat. Akulah mendung yang selalu setia mengantarmu menemui tanah kering. Tanah kering itulah cintamu, dan kini cinta itu telah berlabuh. Cinta itu telah lupa akan luka. Cinta itu telah menemui ruang jiwa sang perindu.

Kubasuh wajah hingga hilang semua sisa air mata yang tumpah. Kuseka dengan beberapa lembar tissu yang bersisa di kantong rok. Bergegas aku keluar lagi, teringat akan ada meeting 30 menit lagi

Dukkh tak sengaja aku menabrak seseorang. Isi tasnya keluar berserakan di lantai. Aku membantu merapikan. 

"Ma maaf Mba Dessy," Ucapnya lemah dan tergesa menarik tasnya, tangannya menutupi mulut seolah menahan mual. Ia langsung masuk ke toilet. 

"Eh, tunggu. Ini masih ada." Ucapku menyodorkan sebuah pena yang tertinggal. "Yulia, Penamuu.. " Mataku terbelalak. Tidak, ini bukan pena. Ini.. Dua garis biru. 

(Bersambung) 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku 61 Kisah Pengantar Tidur [IMRC 2015]

Untukmu... Suamiku

Drama Korea vs Hafalan Qur'an