Terimakasih Dokter Jenny! (part 2)


Setelah beberapa pekan tidak lagi mengikuti terapi, kaki dan pinggulku kembali sakit. Memang tidak ada lagi rasa seluruh tulang-tulang remuk seperti dulu. Sakit kepala kembali terasa tapi tidak separah dulu. Mungkin saja Karena aktivitas rumahku masih sangat terbatas. Masih banyak urusan rumah tangga yang dibantu Ibu. Sehingga kondisiku masih stabil. Hanya rasa nyeri di pinggul, pinggang belakang, kaki dan semua sendiku yang semakin memburuk.

Pada suatu sore saat aku shalat Ashar, aku berdiri cukup lama untuk rakaat pertama. Setelahnya aku bermaksud hendak rukuk, tapi tiba-tiba saja aku merasa ada sesuatu yang robek di pinggang belakang. Pada saat yang sama aku jatuh tersungkur ke sajadah. Aku terkejut luar biasa. Aku berusaha berdiri kembali sepelan mungkin. Tapi tetap tidak mampu mengambil posisi lurus. Aku mengulangi gerakan rukuk dan menyambung shalatku hingga selesai sembari menahan rasa ngilu dan nyeri yang bersangatan. 

Meskipun ada lintasan pikiran agar aku bisa menyelesaikan shalat dengan duduk saja, hatiku enggan dan risih. Aku malu pada Rabb-ku. Kakiku masih kuat. Walaupun punggungku tidak mampu tegak sempurna. 

Setelah salam aku naik ke ranjang. Berusaha berbaring dan meluruskan kaki. Tapi kakiku teramat ngilu hingga ke pangkal paha untuk sekedar tersenggol kasur. Pikiran pikiran buruk tentang kelumpuhan menggerayangi kepalaku. Aku tak mau lumpuh. Aku tak mau jadi Sampah keluarga. Astaghfirullaha wa atuubu ilaihi...

Anak-anakku tengah asyik bermain di luar rumah. Tak satu pun mereka mengetahui keadaanku. Setengah jam setelah itu satu persatu anakku tiba. Ibuku juga datang mengantarkan makanan untuk makan malam. Aku berusaha bangun menyambut ibu sembari tertatih dan terbungkuk-bungkuk. Tidak lama kemudian salah satu Mamakku tiba. Kami memanggilnya Mak Etek. Aku berjalan terbungkuk-bungkuk ke dapur hendak menghidangkan segelas air untuk Mak Etek. Ibu memandangiku heran. Aku membalas tatapan beliau dengan senyum kecil.

Ibu dan Mak Etek larut dalam obrolan mereka. Kepada siapapun Ibu selalu menceritakan kesibukannya saat ini. Mengurusi kami. Ia begitu khawatir dengan keadaanku yang hampir tiap hari ke rumah sakit. Rupanya Mak Etek datang untuk membesuk aku. Aku terkadang merasa lucu jika ada orang yang membesuk, sebab meskipun banyak rasa sakit tapi aku tidak merasa sakit yang perlu dikunjungi siapa siapa. Sebab aku masih bisa hilir mudik keluar rumah- ke rumah sakit naik motor sendiri. 

Entahlah... Saat ada orang yang mengasihani aku merasa itu suatu yang berlebihan. Aku tidak butuh dikasihani, aku hanya butuh dimengerti.

Terkadang rasa sakit ini membuatku putus asa dan berharap duniaku selesai sampai di sini. Terkadang rasa sakit ini justru membuatku mensyukuri dan belajar tentang banyak hal.

Ketika aku nyaris putus asa menghadapi rasa sakit yang datang hilang timbul silih berganti di seluruh bagian tubuhku... Aku kerap berdoa,
"Ya Allah.. apabila sakitku ini Engkau berikan karena dosa dan kebodohanku, ampunilah aku. Bimbinglah aku.. janganlah engkau hukum aku karena kebodohanku. Sungguh aku termasuk orang-orang yang dzolim.

Andaikan sakitku ini, Engkau berikan karena hutang-hutang pengasuhan Ibuku di masa lalu... Maka maafkanlah dia. Sebab aku sudah memaafkannya. Berikanlah dia kebahagiaan di hari tuanya. Angkatlah segala kesusahan dari kehidupannya. Kasihanilah dia. Sungguh kesalahannya di masa lalu tidaklah seberapa dibandingkan seluruh kebaikannya untukku dan anak-anakku hingga kini. 

Andaikan sakitku ini Engkau berikan karena hutang-hutang suamiku di masa lalu... Maka maafkanlah dia. Ampunilah dia.. sebab aku sudah memaafkannya. Aku ridho menerima semua takdir yang telah Engkau tuliskan untukku. Aku yakin dia adalah pasangan terbaik yang telah Engkau siapkan untukku."

Aku merasa diriku sudah menjadi beban dan sumber kesusahan untuk keluarga. Terutama untuk Ibu dan suamiku. Anak-anakku Luntang Lantung tidak terpenuhi kebutuhan psikisnya.  Meskipun secara fisik ibu membantuku mengurus keempat anakku dengan sangat baik. Tapi aku bisa merasakan mereka tidak nyaman dengan kondisi kami. 

Si Uni, anak kedua pernah protes, "Umi kenapa sekarang berubah? Kenapa Umi sekarang tidak suka lagi bercanda?" 

Ternyata tanpa aku sadari memang aku sekarang sangat jarang membersamai mereka. Sebab aku sibuk dengan diriku sendiri. Padahal selama ini, hanya aku yang menjadi tumpuan hati mereka. Karena Bapak mereka menghabiskan waktu sepanjang hari mencari nafkah ke luar rumah. Ketika pulang pun telah sangat lelah.

Si Kakak, anak ketiga juga beberapa kali kudengar mengobrol dengan temannya, "Nanti kalau Umiku sudah sehat, Umiku akan membuat makanan yang enak-enak lagi." Mataku hangat setiap kali mendengar kalimat itu. Aku abai, rupanya mereka sangat merindukan masakanku. Sudah berbulan-bulan urusan dapur kami diambil alih oleh ibu. 

Di lain waktu aku juga kerap berdo'a,
"Ya Rabb... Andaikan aku sembuh. Andaikan keadaanku sudah lebih stabil... Maka dengan izinmu aku hanya akan fokus pada empat perkara. Memenuhi hak Rabb-Ku, memenuhi hak diriku sendiri, memenuhi hak suamiku, dan memenuhi hak anak-anakku. Aku akan berusaha sekuat mungkin meninggalkan yang selain itu."
***

Di tengah buruknya kondisiku saat itu... Terngiang-ngiang ucapan dan nasehat dr. Jenny... Aku pikir semua yang beliau sampaikan itu benar. Aku tidak boleh menunda nunda lagi untuk berangkat.
Aku pun memutuskan segera berangkat ke Padang. Aku menyampaikan penjelasan dr. Jenny kepada Ibu dan suamiku. Mereka sangat mendukung rencanaku. Suamiku mendapatkan jatah libur dan kami berangkat bersama menggunakan Bus.
Dua kali aku Konsul ke dr. Raveinal, beliau mencurigai aku hyper LGE, tapi hasil Labor menunjukkan negatif. Kemudian aku di oper kembali ke poli Reumathologi. Aku kembali bertemu dengan dr. A yang dulu sempat ku hindari. Beliau memeriksa sendi rahang, bahu, pergelangan tangan dan jari-jari. Seorang dokter residen perempuan juga turut memeriksa sendi sendi di kaki. 

Kemudian aku menjalani cek darah lagi. Kali ini tes anti CCP LGG, yaitu tes Anti Cyclic Citrullinated Peptide. LGG tidak tahu apa. Hehe. Manfaatnya untuk memeriksa zat kekebalan tubuh. Pada kunjungan keempat barulah tegak diagnosa Rhemathoid Athritis. 

Aku menerima diagnosa itu dengan hati lapang dan penuh kesyukuran. Sebab apa yang selama ini terasa sulit dan begitu membingungkan menemukan jati dirinya untuk kami kenali. Pertanyaan selanjutnya... Apakah aku bisa mengerucutkan jumlah poli yang rutin ku kunjungi di M. Natsir? Apapun jawabannya. Aku sudah pasrah. Aku ikhlas menjalani semuanya sebagai bentuk kasih sayang Allah dan penggugur dosa-dosaku.

Sekali lagi, aku ingin mengucapkan terimakasih pada dr. Jenny yang telah memberi penguatan untuk seorang pasien berotak rumit dan galau ini. 

Aku juga ingin minta maaf kepada dr. Yosti..

Maaf ya Kak Yos... Aku sudah keras kepala selama ini. Untung Kakak sabar menghadapi aku^^

Entah kenapa, tiba-tiba dr. Yosti memintaku tidak lagi memanggilnya, Ibu. Beliau minta aku memanggilnya seperti dulu. Sewaktu awal kami berjumpa di gubuk reot Bapakku. Allahumma barik. Di tengah beratnya jalanku, bermunculan orang-orang baik yang kebaikannya membuatku terharu.
***

Dengan kekuasan Allah 'Azza wa Jalla doa-doaku terkabul. Masyaallah sangat dahsyat kekuatan maaf. Ketika engkau memaafkan manusia, maka Allah akan memaafkan mu. 

Segala puji bagi Allah... Yang dengan rahmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Segala puji bagiNya Dzat yang Maha Adil dan Maha Pengasih Penyayang. Kasih sayangnya sangatlah besar dan dalam. Lebih besar dari kasih sayang seorang Ibu kepada anak yang tengah disusuinya.

Solok, 11 Maret 2024
1 Ramadhan 144H

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kepada Bapak Dokter yang Terhormat

Untukmu... Suamiku

Belajar dari Para Dokter