Terima Kasih Dokter Jenny


Nama beliau Jenny Tri Yuspita Sari. Menurutku beliau unik. Beliau sangat ramah dan sederhana dalam penampilan. Semula aku ragu yang mana dr. Jenny. Sebab ada dua dokter dalam ruangan poli THT. Satu laki-laki dan satu lagi perempuan. Keduanya ramah dalam menghadapi pasien.
Hal unik lainnya yang membuat aku kagum adalah kedekatan dr. Jenny dengan perawat yang bertugas di poli itu. Mereka memanggilnya Bunda. Aku sering memperhatikan keduanya dan menyimak obrolan mereka. Interaksi Meraka sangat hangat, saling menghargai, dan saling membela. Layaknya dua kakak beradik. Allahumma barik lahunna..

Poli Ketujuh
Aku langsung ke poli THT setelah mendapat rujukan internal dari dr. Peppy. Setelah menunggu cukup lama di depan poli, aku masuk menemui dr. Jenny. Aku diperiksa oleh partner dr. Jenny di kursi besar dengan sebuah kamera kecil bertangkai panjang masuk melalui lobang hidung. Dokter itu menanyaiku beberapa hal terkait keluhanku. Aku menyampaikan semuanya. Berharap segera ditemukan hulu penyakit yang menggangguku.

"Ibu punya alergi ya?" Tanya dokter tersebut.

"Iya Pak, alergi debu dan dingin."

"Rhinitis alergi, Kak?" Tanya dokter itu ke dr. Jenny. 

"Iya, rhinitis berat." sahut dr. Jenny. Barangkali itu diagnosa mereka. 

Setelah itu aku duduk bersebelahan dengan dr. Jenny di sebuah kursi panjang pasien. Memang di ruangan itu tidak ada meja kerja yang cukup memadai untuk beliau mengisi catatan rekam medis dan surat-surat lainnya. Dokter Jenny tampak kerepotan menulis di atas satu kakinya. Beliau terlihat lebih kasual dan tomboy. Aku mendengarkan penjelasan beliau dengan hati pasrah.

"Konka uni bengak, di kedua sisi. Kan tadi tampak dari kamera. Uni juga punya alergi ya?"

"Iya Bu, saya juga ada asma," jawabku cepat.

"Oh ada asma juga. Hmm...  Coba dulu kita obati sekarang. Uni hindari penyebab alerginya. Minggu depan kita rontgen, ya."

"Rongent Minggu depan?" Aku agak bingung. Kenapa pula dirongent segala?

"Iya.. Minggu depan saja rongent nya. Kalau sekarang, nanti hasilnya tidak akurat. Buruk saja kelihatan semuanya, karena dia sedang akut." 

"Oh... Baik Bu." Jawabku mengerti. "Bu, jadi yang mana lebih dulu ada kira-kira ya, Bu? Asma dulu atau rhinitisnya dulu?" Tanyaku penasaran.

"Sama seperti telur dan ayam, telur dulu atau ayam dulu?" Aku tertawa mendengar kelakar dr. Jenny. "Satunya saluran napas atas, satunya saluran napas bawah. Mereka saling berhubungan. Jadi kita tidak bisa pastikan, mana yang terganggu duluan. Sama seperti telur dan ayam."

 Kemudian dr. Jenny menanyaiku tentang obat-obatan yang aku konsumsi. Baru setelahnya beliau meresepkan obat tambahannya. Aku menerima lembar kontrol berikutnya dengan diagnosa sinusitis akut dan rhinitis berat. Di hari itu aku pulang membawa beberapa obat varian baru. Kini obatku semakin banyak. 

Beberapa hari setelahnya tiba jadwal Konsul ke Ortopedi.  Aku menemui dr. Cherry. Aku menyampaikan tentang kondisi kaki dan pinggulku yang sakit lagi setelah berhenti terapi. Juga tentang pusing yang berlebihan setelah terapi terakhir. 

"Pusing itu kemungkinan dari sinusitisnya," kata dr. Cherry.
Aku mengangguk pelan berusaha mencerna kata-kata beliau.

"Punggungnya bagaimana? Masih sakit?"

"Sekarang sudah tidak, Pak. Sekarang lutut saya semakin ngilu dan berbunyi-bunyi, Pak."

"Sejak kapan?"

"Sebenarnya sudah lama, sejak empat tahun terakhir ini."

"Maaf sebelumnya Ibu pernah punya berat badan berlebih?"

Aku mengangguk cepat. Bahkan saat ini pun berat badanku masih sangat berlebih. BMI score nya saja 26,02.

"Iya Pak, waktu hamil anak keempat."

"Ya kalau sekarang kan sudah normal, jadi tidak apa-apa." Sahut beliau.

Aku merasa lucu mendengarnya.

"Tapi sekarang berat saya masih berlebih, Pak."

"Beratnya sekarang berapa? Maaf."

"59, Pak"

"Tingginya?"

"148," aku menahan senyum.

"Ya dengan tinggi segitu memang harus diturunkan lagi. Diangka empat puluhan lah... Sekarang kan sudah tidak menyusui, tidak apa-apa olah raga yang ringan-ringan. Kalau memungkinkan berenang. Atau sepeda statis, jalan kaki juga boleh. Biasanya ada olah raga?" 

Aku menyimak uraian dokter Cherry dengan mata berbinar-binar. Baru kali ini aku menemukan dokter yang mau memberi penjelasan sangat panjang dan sama sekali tidak terburu-buru. 

"Ada Pak."

"Olah raganya apa? Maaf, kalau boleh tahu,"

"Senam ibu-ibu yang untuk mengecilkan lengan sama paha, Pak."

"Berapa kali sepekan?"

"Paling satu kali, Pak."

"Idealnya tiga kali," lanjut beliau lagi.

"Oh, tiga kali. Insyaallah, Pak." Jawabku bersemangat. 

Aku teringat kelas diet defisit kalori yang sedang ku ikuti bersama Kak Rina Salam, dari Sulawesi sana. Di kelas, teman-temanku di kompori agar olahraga setiap hari. Aku yang baru bergabung masih menyimak saja. Sambil berusaha ikut pelan-pelan.

"Ada minum susu?" Tanya beliau lagi. 

"Tidak Pak," jawabku pelan. "Susu yang bagus apa, Pak? Kalau susu kambing bagaimana?" Aku teringat tentang susu kambing yang sudah ke pesan ke Uniku, kakak ketiga, di Bukittinggi. Harga susu kambing di sana agak lebih miring dari pada di sini.

"Masalahnya bukan  susu apa yang bagus. Semua susu bagus. Tapi Ibu mau minum susu atau tidak?" Jawab dr. Cherry tampak kesal.

"Iya mau minum susu, Pak.. sebelumnya saya minum anle** tapi kata orang, kalau minum susu dan kita kurang bergerak nanti malah merusak tulang. Karena saya baru habis laparoskopi, lalu bulan berikutnya operasi gigi, jadi belum banyak gerak, Pak. Makanya berhenti minum susu," Urai ku panjang.

Memang aku tidak terlalu rajin minum susu. Setelah laparoskopi aku berhenti sama sekali. Setelah operasi gigi, dadaku sering terasa sesak. Sebab itu aku ingin minum susu kambing. 

"Tubuh kita itu akan menyaring zat-zat yang tidak dibutuhkannya. Bisa keluar dalam bentuk urine atau BAB. Jadi tidak perlu khawatir akan ada penumpukan. Kalau Ibu terus saja mendengar kata orang, satu pun tidak akan jadi."

"Iya, Pak. Insyaallah saya mau minum susu," jawabku pelan.

"Hari ini, kita rontgen lututnya, ya." Ucap dr. Cherry sembari menyerahkan lembar pengantar untuk rongent dan map rekam medis.

"Ya, Pak.. terimakasih," jawabku sopan.

"Sama-sama, Bu. Terimakasih..." Jawab beliau sembari menundukkan kepala. 

Aku terkesan dengan sikap rendah hati beliau. Aku meninggalkan poli Ortopedi dengan batin puas dan sedikit berdebar-debar setelah dikritik dr. Cherry.

 Setelahnya aku segera menuju gedung radiologi. Aku teringat beberapa bulan lalu dr. Yosti pernah menawarkan untuk me-rontgen lututku. Aku bersedia. Tapi belum sempat dilakukan karena aku tidak kembali cukup lama ke Poli Interne. Aku terdampar di Poli G. Sementara rujukan ke interne sudah habis. Aku pun enggan memperpanjang ke Puskesmas.

Pada pekan berikutnya, hasil rontgenku keluar. Di  surat keterangannya dibunyikan hasil klinis osteoarthritis bilateral. Aku kembali ke dr. Cherry memperlihatkan hasil tersebut. Beliau meletakkan foto rongent di X-Ray Viewer. Kemudian memberi penjelasan pelan-pelan dengan bahasa yang mudah ku pahami.

"Di sini ada bantalan." Beliau menunjuk rongga sendi lutut. " Harusnya disini ada ruang sedikit, sehingga tidak ada gesekan. Karena di sini ada pengapuran, jadi tampak menyatu. Makanya terjadi gesekan, berbunyi, dan terasa sakit."

Aku mendengar penjelasan beliau dengan seksama. Meskipun aku tidak begitu paham dengan foto sendi di atas lampu besar itu.

"Untuk usia segini  kemungkinannya, yaa karena kelebihan berat badan." Sambung beliau lagi. "Hindari dulu.. ya sebaiknya tidak sama sekali. Tapi jika tidak bisa menghindari sama sekali, dikurangi saja naik turun tangga, berjalan di tempat menanjak, dan mengangkat yang berat."

Aku mengangguk mengerti. Memang aku kesulitan menghindari mengangkat yang berat. Sebab aku seringkali rindu menggendong si bungsu. Pekerjaan rumah tangga juga banyak yang berurusan dengan mengangkat beban berat. Tapi demi kesembuhan, aku akan berupaya lebih hati-hati lagi.

Dalam sesi konsultasi hari itu, lagi-lagi dr. Cherry mengingatkan aku untuk rutin berolah raga dan minum susu. Hanya saja aku merasa heran, kenapa dr. Cherry tidak menyarankan untuk terapi lagi. Padahal itu satu hal yang aku tunggu-tunggu. Apakah disebabkan laporanku tentang rasa pusing berlebihan tempo hari?
***

Dadaku semakin sesak. Dari pinggul hingga kaki juga nyeri dan ngilu. Semua sendi sendi kaki, tangan, hingga leher berbunyi, terasa hangat, dan amat sangat tidak nyaman. Aku memikirkan kembali tentang pengobatanku dengan dr. Yosti. Aku juga teringat dengan perkataan beliau saat mengurus persiapan operasi gigi waktu itu.  Apakah ada baiknya aku mengikuti saran beliau untuk dirujuk ke M Djamil lagi? Jika aku melakukan itu, apakah kerepotanku mengunjungi  macam-macam poli di rumah sakit saat ini bisa dikerucutkan???

Setelah memikirkan hal itu berulang-ulang aku memutuskan mengurus surat rujukan ke puskesmas. Keesokan harinya aku dapat menjumpai dr. Yosti di Poli Penyakit Dalam. Aku menyampaikan  keluhanku tentang rasa sesak setiap hari pasca operasi gigi. Aku juga menyampaikan kemajuan pengobatanku di poli-poli lainnya.

"Berobat kukunya sama Peppy jadi?" Tanya beliau. Aku lupa menyebutkan kemajuan kuku.

"Jadi Bu, Alhamdulillah sudah ada kemajuannya. Tinggal sebelah lagi masih berjamur," beliau mengangguk pelan. 

"Yeyen dirujuk saja, ya? Dugaan kuatnya memang autoimun imun, ini." Aku gemetar mendengar ucapan beliau. Padahal memang itu yang ingin aku tanyakan. Tapi hati masih saja goyah. 

"Bu, jika saya dirujuk apakah ada kemungkinan saya bisa meninggalkan kunjungan ke banyak poli seperti sekarang?"

"Bisa, jika memang nanti ditemukan penyakit Yeyen ini satu kesatuan." Ya, aku memang selalu butuh kepastian.

"Ya, Bu... Di rujuk saja..."
dr. Yosti sibuk mengisi lembaran-lembaran kertas di atas meja kerjanya. Aku terpaku menatap kerepotan beliau. Beliau tampak sangat terburu-buru. Memang di luar sana masih ramai deretan pasien mengantri.
"Kemarin kan kata dr. A SLE nya negatif, ya berarti negatif. Jadi sekarang kita ganti Poli. Namanya Poli Alergi Imunologi. Nanti dicek labor lagi di sana."

"Dokternya siapa, Bu?"

"Namanya dr. Raveinal. Sekarang Ibu beri obat asma satu bulan, ya." Ucap dr. Yosti lagi. 

"Ya Bu.. trimakasih dr. Yosti..." Ucapku sembari menerima semua lembaran yang sudah beliau tuliskan. 

Meskipun telah mendapat fasilitas untuk berobat ke M Djamil, aku tidak berangkat begitu saja. Ya Rabb ... Otakku ini selalu saja butuh alasan untuk melakukan sesuatu. Aku ingin mencari penguatan. Tetapi kepada siapa aku harus bertanya???
***

Beberapa hari kemudian aku kembali ke Poli THT.  Dengan kondisi yang sudah jauh lebih baik. Mataku tidak lagi bengkak dan belekan. Sakit kepalaku juga sudah mulai mereda. Hanya muncul sesekali. Hidung dan telinga masih terasa ditusuk-tusuk bila terkena debu dan asap. Rasa sakitnya pun menjalar ke tulang pipi.
Partner dr. Jenny memeriksa kondisi hidung ku. 

"Tulang hidung agak bengkok, konka masih bengkak sebelah. Ada cairan. Sedang flu, ya?" Tanya beliau.  

Sementara dr. Jenny tetap memantau dari layar.

"Tidak, Pak. Memang kalau pagi suka meler-meler," jelasku. 

Kemudian dr. Jenny sibuk menulis di kertas kertas administrasi. Aku turun dari kursi pemeriksaan yang besar itu, duduk di dekat dr. Jenny. 

"Jadi Yeyen sakit apa, Bu?" Tanyaku lembut.

"Rhino Sinusitis kronis. Ini disebabkan alergi." Jawab beliau. Beliau menjelaskan bagaimana nama Rhino Sinusitis itu terbentuk. Tapi aku tidak begitu paham.

"Bu, apakah alergi sama dengan autoimun?"

"Beda, alergi itu sudah ada sejak kita kecil. Autoimun itu adanya saat kita sudah besar. Keponakan Ibu juga autoimun, lupus. Usianya baru 17 tahun. Ada lagi pasien, kulitnya gatal-gatal, merah. Dirujuk Peppy ke Padang ternyata lupus juga."

"Saya juga dirujuk dr. Yosti ke Padang, Bu."

"Pergilah... Periksa saja, autoimun itu penyakit seribu wajah. Dia bisa berbentuk apa saja. Sangat menipu. Periksa saja, biar ada kepastian." Ya Rabb... Aku terkesan sekali. dr. Jenny sedermawan itu memberi informasi.

"Ya agak sedikit galau, Bu... Karena jauh rasanya. Anak-anak ditinggal." Aku mulai curhat.

"Memang itu pula kendalanya." Beliau berusaha berempati. "Periksa saja dulu, setidaknya sekali. Supaya hilang rasa penasaran. Biayanya sekarang kan ditanggung BPJS." Ucapan dr. Jenny kerap terngiang-ngiang di telingaku.

Hari itu.. selain obat-obatan dr. Jenny juga memberikan lembar pengantar untuk rongent kepala. Jantungku berdebar kencang. Aku takut, tapi aku ingin tahu tentang kepalaku. 

Dua pekan setelah itu hasilnya keluar. Ternyata aku mengalami hypertrophy konka bilateral dan suspek sinusitis maksilaris bilateral. Aku menemui lagi dr. Jenny dua kali setelahnya. Pada kedua pertemuan itu beliau menawari aku untuk operasi. Agar cairan yang menyumbat itu bisa dicuci dan dibersihkan. Tapi aku masih trauma akan ruang operasi. Aku diberi waktu satu bulan. 

Pada bulan berikutnya aku kembali Konsul dengan beliau. Aku mendapatkan keajaiban. Konka mulai berkurang bengkaknya. Hingga teropong mungil dr. Jenny bisa menerobos masuk lebih jauh memantau lendir yang menumpuk di bawah mataku.
"Tuh, lendirnya, Yen." Ucap beliau menunjuk ke layar. Aku bergidik.

Setelah hari itu aku kembali diberi obat untuk satu bulan. Aku sangat berterimakasih dengan obrolan bersama dr. Jenny pada hari itu.  Kebimbanganku mulai hilang. Aku berani mengambil keputusan.
***

(Bersambung)

Solok, 11 Maret 2024

1 Ramadhan 1445H

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kepada Bapak Dokter yang Terhormat

Untukmu... Suamiku

Belajar dari Para Dokter