Catatan 14 th Pernikahan


Hai suami.. hampir 14 tahun kita bertetangga^^

Segala puji bagi Allah yang telah mempertemukan kita..

Suami, apakah kamu masih ingat bagaimana awal mula kita berjumpa? Aku mengingat semuanya. Aku belum lupa lika liku yang kita lewati hingga sampai ke detik ini. Izinkan aku menuliskan ini sebelum aku menjadi lupa. Agar anak-anak kita bisa membacanya dan mengambil hikmah ketika mereka telah tumbuh dewasa.

Suami.. kamu adalah jawaban dari doaku. Aku ingat ketika masih SMK, aku dan Herly teman sebangku ku kerap bercerita tentang masa depan. Kala itu usiaku masih 17 tahun. Kami saling curhat tentang pasangan impian masing-masing. Kami punya satu kesamaan. Sama-sama ingin menikah dengan orang Jawa. Sebab lelaki Jawa terkenal pekerja keras dan lemah lembut kepada pasangannya.

Aku tidak ingat tipe pasangan seperti apa yang Herly mau waktu itu. Yang aku ingat Herly dikejar-kejar mantan pacarnya. 

"Aku mau yang tinggi.. Karena aku pendek. Aku mau yang kulitnya putih ... Karena aku hitam. Aku mau yang hidungnya mancung... karena hidungku pesek. Aku mau yang sabar karena aku keras kepala, aku mau yang lebih tua dariku. Tapi tidak terlalu tua. Karena kalau seusia pasti gampang bertengkar, saling ego, dan cepat berpisah, aku mau orangnya tidak ku kenal sama sekali. Karena kalau sudah kenal sebelumnya pasti ekspektasi nya tinggi dan banyak tuntutan." Terangku panjang lebar waktu itu. Kami tertawa bersama setiap kali membahas hal itu. Ternyata aku banyak sekali maunya. Hehe

Suami... kamu sadar tidak, kamu sangat pas dengan kriteria yang aku sampaikan ke Herly waktu itu. Kamu tinggi, aku hanya se-dagumu. Kamu mancung, agak putih, sabar, lebih tua empat tahun dariku, dan aku tidak mengenalmu sama sekali. Memang kamu bukan suku Jawa, tapi kamu sangat suka makanan Jawa. Sehingga aku tidak terlalu kesulitan dalam menentukan masakan di rumah.

Tidak berapa lama setelah tamat SMK,  Herly berhasil mencapai impiannya. Ia dinikahi seorang pria Sunda. Sedangkan aku dilamar pria  yang berumur dari Kota Padang saat kelas 3 SMK. Tentu saja aku tidak mau. Aku lebih suka lanjut belajar di Perguruan Tinggi dari pada menikah dan menjadi ibu rumah tangga.

Suami... Aku pernah berkata di depan kaca, bahwa setelah lulus kuliah aku akan bekerja selama satu tahun, memberikan semua gaji pertamaku untuk Ibu, lalu menikah dan punya 9 anak. Semuanya terjadi, kecuali yang terakhir. Aku hanya mampu melahirkan empat anak, meskipun kamu ingin lebih dari itu. Tapi nanti setelah anak anak kita menikah kita juga akan punya anak mantu kan? Jadi kita punya delapan anak. Satu anak lagi... Nanti aku pelihara kocheng saja^^.

Aku ingat waktu itu ada beberapa tawaran dari teman temanku agar aku dijodohkan dengan teman-teman mereka. Tapi semuanya tertolak. Yang satu karena memang aku tak suka karakternya. Yang satu lagi karena Ibu tak suka daerah asalnya. Lalu ketika acara halaqah uni Dani meminta aku dan teman teman mengisi biodata dengan menyertakan foto. Katanya untuk mengupgrade data keanggotaan partai. Aku yang sedang gabut mengisinya sepenuh hati, selengkap lengkapnya. Ternyata biodata itu untuk keperluan perjodohan. Memang akal akalan mereka begitu.

Suatu hari aku dipanggil uni Dani dan menerima biodatamu. Isinya tak selengkap isianku. Tulisannya rapih, dan ada foto dirimu yang tersenyum manis di dalamnya. Rapihnya tulisan dalam biodata itu menarik perhatianku. Belakangan aku tahu ternyata itu adalah tulisan uni Dani yang menyalin ulang biodatamu. Tapi ada ke-tak jujuran lain di sana. Beliau tidak menuliskan semuanya yang harusnya aku tahu tentangmu.

Pertama kali aku membaca biodatamu, aku menutupi bagian fotonya. Karena aku tak ingin terpengaruh dengan rupa. Setelah semua biodata itu berulang-ulang ku baca, baru aku buka fotomu pelan-pelan. Dan waw ... Senyummu sangat manis^^. Setelah itu aku memperlihatkannya kepada ibu. Ibuku tersenyum dan bertanya pendapatku.

Dengan jujur aku menjawab, "Kenapa mukanya seperti banci?" ✌️✌️

Ibuku tertawa dan berkata, "Pria seperti itu biasanya penyayang dan setia. Lalu Ibu menceritakan tentang si Fulan yang pembawaannya melambai tapi sangat loyal dengan istrinya. Ah Ibu... Aku memang suka pria yang sedikit feminim untuk berteman tapi tidak untuk menjadi pasangan.

Aku punya teman baik yang seperti itu di masa SMP. Mereka tidak feminim, hanya anak mami. Biar aku sebutkan namanya. Ada Dahno anak pedagang bumbu keturunan India. Ada Rahmat Safitra, anak seorang guru killer di SD inpres. Ada Wahyudi, anak Buya Ramadhan yang Sholeh dan baik hati. Mereka bertiga teman teman baikku saat di awal pubertas. Kami suka belajar kelompok, mengobrol, bercanda, pinjam pinjam komik, dll. Bukan hanya aku anak perempuan di tengah mereka. Ada lagi Maita, temanku sedari kecil. Ada juga Yosi Yulita, si juara kelas yang mulutnya ceplas ceplos. Mereka, si anak anak mami, memang teman bermain dan belajar yang menyenangkan, seperti majalah Bobo. Mulutnya tidak jahat, tangannya tidak jahat, otaknya juga tidak jahat.

Untuk pasangan, aku ingin yang lebih maskulin tapi berhati baik. Seperti Abangku. Yang bisa membimbing  dan melindungi aku. Tapi aku tidak tahu, di belahan bumi mana ada orang seperti itu.  Lagi pula bagaimana aku bisa menemukannya dengan situasi aku sangat menutup diri dalam berinteraksi dengan laki-laki.

Lalu... kita bertemu pada sore itu di rumah uni Dani dan Bang Yunizal. Aku sangat gugup dan malu. Ini kali pertama aku merasakan sendiri ta'aruf itu seperti apa. Acara dibuka secara semi resmi oleh Bang Yunizal. Kita bergantian memperkenalkan diri. Juga diberi kesempatan untuk saling mengajukan pertanyaan. Aku mempertanyakan tentang visi dan misimu ke depan setelah berumah tangga. Kamu menjawab dengan jawaban yang menurutku tidak seperti yang aku inginkan. Di situ aku mulai berpikir bahwa sepertinya kita tidak cocok.

Setelah itu giliranmu bertanya. Aku ingat  hal lucu yang kamu tanyakan.
"Kenapa kamu berkaca mata? Memang matanya sakit atau buat gaya?"

Uni Dani ikut tertawa, tapi langsung menegurku karena itu adalah sesi pertanyaan dan semua orang bebas bertanya apapun.

"Ya matanya minus sejak bikin skripsi," jawabku sembari menahan tawa.

Lalu aku diberikan kesempatan mengajukan persyaratan. Sebenarnya aku punya tiga persyaratan, tapi karena malu kepada Bang Yunizal, aku hanya menyampaikan dua persyaratan saja.

Pertama, aku tidak bersedia dipoligami. Kecuali kalau aku sudah tidak mampu melaksanakan kewajiban sebagai istri, Maka silahkan poligami.

Kedua, jangan halangi aku untuk aktifitas di luar rumah. Sebab aku ingin bermanfaat untuk orang lain.

Ketiga, ini persyaratan yang tidak ku sampaikan. Aku tidak ingin ada hubungan suami istri sampai kita bisa saling jatuh cinta. Ku pikir, syarat ketiga ini nanti bisa aku sampaikan melalui surat saja setelah pernikahan.

Kamu menerima kedua syarat itu diembeli dengan satu pertanyaan, "Kenapa menyaratkan tentang poligami? Karena nonton film yang lagi hits atau karena pamanku yang poligami?"

Dalam hati ku jawab, "Karena aku pencemburu berat. Aku bisa mati karena rasa cemburu."

Setelah itu Bang Yunizal menanyai pendapat kita masing-masing. Dengan mantap kamu menjawab ingin melanjutkan. Sedangkan aku,  masih belum bisa memberi jawaban. Uni Dani memberi tempo tiga hari untukku.

Aku tak henti berdoa minta pilihan yang terbaik kepada Allah. Apabila memang kamu pilihan yang terbaik maka mudahkanlah. Jika kamu bukan yang terbaik untukku, agamaku, urusan dunia dan akhiratku, maka jauhkanlah... Berilah pengganti yang jauh lebih baik.

Aku juga berfikir berulang-ulang untuk membuang rasa bimbang. Di satu sisi aku merasa butuh segera menikah karena sudah sangat tidak nyaman dengan kehadiran seorang teman yang selalu menguntit kemana pun aku pergi, apapun hal yang aku lakukan. Dia menguntit secara fisik juga telpon dan pesan pesan singkat yang sangat mengganggu. Aku merasa kehilangan privasi dengan kehadirannya. Tapi aku juga tidak tega mengusirnya, karena di Padang dia jauh dari keluarga. Seringkali dia datang ke Solok untuk pulang kampung dan beristirahat. Dari pada mengurusi dia yang perangainya seperti bayi lebih baik aku mengurus suami dan bayi sungguhan, bisa dapat banyak pahala. Begitu pikirku.

Di sisi lain, aku merasa tidak terlalu cocok denganmu. Aku menyukaimu secara fisik. Tapi aku belum merasa nyaman dalam berkomunikasi. Aku khawatir hal itu akan berdampak tidak baik nantinya.

Ah suami... Sekarang aku baru tahu bahwa ta'aruf yang kita jalani dulu terlalu kaku dan tidak benar benar sesuai dengan syari'at. Seharusnya ta'aruf itu dilakukan di keluarga pihak perempuan, dengan kehadiran orang tuanya atau keluarganya yang lain. Harusnya ada waktu yang lebih luang untuk calon pasangan saling bicara dan saling mengenal tanpa berdua- duaan tentunya. Nanti jika tiba giliran anak anak kita, kita lakukan yang terbaik ya..

Suami, tahukah kamu kehebohan yang terjadi setelah itu? Kakak iparku diam diam datang ke toko tempat kamu bekerja, beliau menyamar menjadi pembeli alat alat teknik. Menguji kesabaranmu dengan bertanya kesana kemari selama satu jam. Lalu pergi tanpa membeli satu pun. Dan uniknya kamu tidak marah. Hebat. Beliau salut dengan kamu.

Lalu seorang temanku berpura-pura menjadi pembeli pula dan mengajakmu berbicara kesana kemari tanpa membeli apapun. Setelah itu, Ia mendatangiku dan melarang aku melanjutkan ta'aruf.

"Cari yang lain sajalah. Dia tidak cocok untuk kamu." Ucapnya waktu itu. 

Aku tidak mempedulikan ucapannya. Aku berprasangka memang dia tidak ingin aku segera menikah saja, sehingga berucap begitu. Lalu Ibunya meneleponku.

"Sas... Carilah yang sama.. kamu kan sarjana, cari yang sarjana juga. Kamu kan guru, di sekolah kamu mungkin ada yang lebih cocok. Sayanglah..." 

"Hmm.. iya Mah," jawabku sopan.
Aku menganggap angin lalu ucapan mereka. Aku tidak ingin terpengaruh dengan pandangan mereka. Sebab sejak awal aku memang tidak memperdulikan riwayat pendidikan. Karena Abangku juga bukan seorang sarjana. Tapi di mataku dia sangat hebat dan menyenangkan. Begitu juga kakak iparku. Dia juga bukan sarjana tapi sangat bertanggung jawab dan pintar. Aku ingin mengambil keputusan dengan pikiranku sendiri.

Tapi .. aku tidak memungkiri perasaanku sendiri. Aku memang merasa kita tidak cocok. Hal ini terasa sejak pertama kita saling bicara. Aku menyampaikan hal itu kepada Ibu. Ibu membantahku sebab ia khawatir aku sulit dapat jodoh  jika menolak kamu.

"Kamu pernah gagal menikah...  Kita juga sudah beberapa kali menolak orang yang datang. Ini tidak baik buat kamu.  Ibu takut nanti kamu kena santuang palalai. Sampai tua kamu susah dapat jodoh."

Hari begini Ibu masih saja percaya si santuang-santuangan. Aku tidak terlalu percaya. Tapi....sejak gagal menikah dengan pilihanku sendiri empat tahun lalu, aku sudah bertekad bahwa aku akan ikut firasat Ibu saat memilih pasangan nanti. Aku yakin firasat seorang Ibu lebih baik dari pada firasatku sendiri.

Padahal waktu itu, aku sendiri yang membatalkan rencana pernikahan. Aku tidak peduli dengan nasehat Ibu agar memberi si calon itu kesempatan lagi. Aku bersikukuh, seorang pendusta pasti akan terus terusan berdusta. Dan aku paling benci ketidakjujuran. Meski pahit, aku membulatkan tekad untuk batal menikah dan menyimpan semua perlengkapan pernikahan yang sudah Ibu siapkan.

Untung saja waktu itu aku tidak termakan rayuan dia untuk meninggalkan bangku kuliah begitu saja, dengan iming iming aku akan di biayai kuliah di jurusan yang aku suka di Jakarta. Aku mengurus istirahat kuliah satu semester, baru pulang ke Solok untuk dipingit.

Untung saja waktu itu aku tidak buka hatiku dan memberikan rasa cinta. Meskipun bersedia dinikahi di usia 20 tahun aku tetap jaga hatiku hanya untuk seseorang yang sah menjadi suamiku nanti. Aku tidak pernah mau menanggapi telpon telponnya yang berdering berkali kali dalam sehari.  Kecuali untuk hal hal penting saja.

Untung saja setelah itu aku segera move on dan kembali belajar di Kampus Ungu. Menyelesaikan kuliahku selama empat tahun. Ditambah satu semester untuk istirahat, dan satu semester mengejar satu mata kuliah Pengajaran Sastra yang tercecer tanpa kusadari. 

Untung saja aku bisa wisuda dengan nilai yang cukup baik- IPK 3,53 di ruang Teater Terbuka, karena Kampus Unguku berantakan terkena gempa 2009. 

Jika melihat ke belakang aku ingin marah kepada Si Dia sang pendusta. Karena sebab dia aku gagal mendapat predikat cumlaude dan duduk di kursi emas, meskipun nilaiku memenuhi kriteria.
Tapi kemudian aku bersyukur dengan gagalnya pernikahan itu. Karena firasatku tak salah. Dia benar-benar seorang pendusta yang telah berhasil mengelabui seluruh keluarganya di kampung halaman. Keluarganya itu juga keluargaku karena kami bako dan anak pisang✌️✌️

Apakah aku perlu menuliskan lebih banyak tentang dia? Ku rasa tidak. Karena kamu juga sudah tahu siapa dia dan bagaimana keadaan dia sekarang. Segala puji bagi Allah, keadaan keluarga kita jauh lebih baik dari pada keluarga dia. Dalam banyak hal.

Suami... Apakah kamu tahu siapa pembelamu selain Ibu? Ya.. dia adalah si pembeli palsu pertama. Kakak iparku.

"Biasanya penjual itu akan marah marah kalau kita banyak tanya tapi tidak beli, ini dia tidak marah sama sekali. Kalau kata Da Meh dia sabar. Susah cari laki laki sabar sekarang." 

"Tapi dia tidak nyambung bicara sama aku." Bantahku.

"Itu karena dia tidak kenal kamu, jadi dia tidak ngerti kamu maunya apa. Kalau dia kenal kamu pasti dia akan jawab seperti yang kamu mau." Kakak iparku memang pandai beretorika, aku pun luluh.

Bertepatan di hari ketiga itu acara halaqah kami  bersama Uni dan akhwat matang lainnya di kantor DPD *K*. Sebelum acara aku berusaha menghindar bertemu Uni Dani. Ketika melihat Uni Dani duduk bersama ummahat yang lain di ruang samping, aku langsung kabur sok sibuk.

"Eee...  Tazkiyah! Sini dulu! Gimana jawaban yang kemarin?" Teriaknya sambil duduk santai memangku bayinya.

Aku tidak bisa bergerak dan tersangkut di pintu.

"He he...." Aku masih bimbang dengan jawabanku.

"Kan kemarin waktunya tiga hari. Tidak boleh menggantung-gantungkan anak orang." Ucap beliau santai khas dengan senyum tipisnya. Aku masih tersenyum diam berdiri di pintu.

"Syarat Tazkiyah kan cuma rajin shalat dan tidak merokok. Makanya Uni pertemukan dengan dia." Ucap Uni Dani lagi.

Ya Allah ... Aku termakan ucapanku sendiri. Memang hanya itu syarat calon pasangan yang aku ajukan saat mengisi biodata waktu itu. Aku tidak berani mengajukan syarat lainnya karena aku sangat sadar diri. Aku ini bukan siapa-siapa. Hanya seorang hamba penuh dosa dan kelalaian yang mengharap segera berjumpa pasangan hidupnya.

Dengan berat hati aku menganggukkan kepala,

"Ya ni... Lanjut." Jawabku pelan dan segera berlalu menuju ruangan lain.

Dan... Berlanjut lah ta'aruf kita menjadi rencana pernikahan. Beberapa hari setelah jawabanku ke Uni Dani, kamu datang bersama Bang Yunizal ke rumah kakakku menemui semua keluargaku. Sementara aku tinggal di rumah tua kami dan tidak mengetahui hal itu. Pertemuan itu berjalan sangat baik dan mengokohkan hati Ibuku. Mereka semua menyukaimu.

Setelah itu pertemuan dua keluarga, hingga keluarlah tanggal untuk pernikahan setelah banyak pertimbangan. Tanggal 2 Juli 2010.

Kita ta'aruf di akhir bulan Desember. Kesepakatan keluarga muncul di awal Januari. Kita punya waktu yang cukup panjang untuk menunggu hari H itu tiba.

Ibu dan Bapakku sibuk menyiapkan segala macam hal untuk resepsi. Sementara aku sibuk memikirkan apakah keputusanku sudah benar atau tidak. 

Uni Tuti, seorang teman sesama guru yang cukup akrab denganku, berkali kali mengingatkan aku dengan cara yang sangat halus. Agar aku tidak melanjutkan rencana ini. Sebab dia mengenal salah satu keluargamu dan dia sering melihatmu. Dia merasa kita tidak akan cocok di masa depan.

Uni Elvi Linda, Bendahara sekolah. Beliau cukup kenal denganmu. Sambil bercanda dan dengan kalimat tidak langsung, dia juga mengungkapkan hal yang sama. Kita tidak akan cocok di masa depan. Aku pun terus bertanya lagi ke diriku sendiri dan di dalam do'a-do'aku ke Rabb-Ku.

Suatu ketika aku memberanikan diri menyampaikannya ke Uni Dani melalui pesan singkat di bulan April. 

"Uni.. Tazkiyah rasa kami tidak cocok. Da'wah Tazkiyah di masa depan akan terhambat jika Tazkiyah bersama dia,"
Ni Dani tidak senang dengan pesanku dan membalas.

"Tidak boleh menghentikan begitu saja di tengah jalan, urasan ini sudah sampai ke ranah keluarga."

Aku terdiam dan menyesali keputusanku tempo hari. Setelah hari itu aku mengabaikan suara suara sumbang tentang ketidakcocokan itu dan menulis sebuah surat untuk kamu. Surat itu berisi  permintaanku agar tidak ada hubungan suami istri setelah pernikahan. Tapi surat itu urung  selesai sebab rasa malu yang menimpaku. Aku juga teringat tentang hadits laknatnya para malaikat kepada seorang istri yang menolak suaminya.

Ah, suami... Aku terlalu penakut. Padahal syarat seperti itu sangatlah lumrah dan boleh-boleh saja apabila diajukan sebelum pernikahan. Begitulah jadinya apabila sesuatu dikerjakan tanpa ilmu. Dan aku memang sangat fakir dengan ilmu. Ilmu agama yang aku dapatkan hanyalah sekedarnya. Aku banyak belajar mandiri dari buku buku buatan orang orang yang juga tidak terlalu faham agama ini. Halaqah halaqah yang ku ikuti juga tidak seberapa ilmu syar'i yang ku peroleh dari sana. Meskipun sudah belajar bertahun tahun.

[Bersambung ke Part2]

Solok, 26 Maret 2024

16 Ramadhan 1445H






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kepada Bapak Dokter yang Terhormat

Untukmu... Suamiku

Belajar dari Para Dokter