Kepada Bapak Dokter yang Terhormat

 

Kepada Bapak Dokter yang terhormat, dengan saya muatnya tulisan ini di Blog saya semoga segala kecamuk di hati saya akan Bapak, reda dan musnah. Semoga tidak ada lagi pengunjung aktif di blog ini. Dan blog ini pun terlupakan. Sebab itu akan membuat saya teramat malu. Namun sebagai seorang pejuang pena saya tetap hendak bersuara. Bukan untuk di dengar, namun untuk melepaskan ketegangan di kepala saya. Jika ada yang membaca tulisan ini semoga itu Bapak, dan itu tidak mungkin. Ah, sudahlah.

Bapak Dokter yang terhormat, pertama tama saya hendak mengutarakan rasa terima kasih yang sangat besar karena melalui bantuan Bapak, penyakit yang tidak pernah saya duga ditemukan. Melalui bantuan Bapak, lebih dari separuh rasa sakit kepala yang menyiksa saya selama berbulan-bulan pun hilang. Melalui bantuan Bapak saya dapat berhenti sementara, semoga juga seterusnya menjadi pejuang SLE. Sekarang saya bebas dari ketergantungan terhadap pil methilprednisolone. Pil kecil yang membuat tubuh saya makin mengembang dari bulan ke bulan. Melalui bantuan Bapak juga menyakit asam lambung, sakit perut yang mengganggu saya berpuluh tahun pun mereda sedikit demi sedikit. Dan terakhir, melalui bantuan Bapak juga, dengan izin Allah tentunya tulang tulang kecil yang mengganggu aktivitas saya 4 tahun terakhir ini hilang sama sekali. Sekali lagi terimakasih Pak! Semoga Allah Azza wa Jalla membalas Bapak dengan kebaikan yang jauh lebih banyak.

Sampai di sini, saya bingung harus menulis apa lagi. Karena ternyata cukup besar jasa Bapak terhadap kesehatan saya.

Pak.. saya meyakini apa apa saja yang telah terjadi adalah takdir yang sudah Allah tetapkan, dan dalam hal ini saya tidak bermaksud ingin berandai andai. Andaikan tidak begini tentu akan begitu. Bukan demikian. Saya disini sekedar hendak mencurahkan perasaan saja. Bahwa saya  saat itu.. ketika Bapak menawarkan pemeriksaan  pakai 'teropong' sebagai solusi. Saya sama sekali tidak mengetahui akan ada pembedahan nantinya. Duh, berapa oon- nya saya. Saya membaca surat yang Bapak tandatangani sebagai tindakan endoskopi, meskipun tulisannya di sana laparoskopi. Tahun kemarin Bapak saya juga endoskopi, tidak ada pembedahan apapun. Tapi penyakit di dalam tubuhnya bisa  dideteksi dengan tepat. Saya pikir ini hal yang sama. Bahkan saya tidak terbetik sedikitpun untuk mencari tahu di Om Google.

Dua hal yang saya cemaskan adalah prosedur anestesi dan tersingkapnya aurat saya nanti di ruang operasi. Sebab bulan berikutnya saya akan menjalani anestesi lagi untuk operasi gigi. Di saat yang bersamaan saya baru saja bertekad untuk menjaga aurat saya rapat rapat, mengenakan pakaian gelap, berusaha menghidupkan Sunnah Rasul Salallahu 'alaihi wassalam dengan istiqamah menutup wajah.

Meskipun tangan ini gemetar, kaki ini goyah, hati gelisah, saya tetap menguatkan diri untuk berikhtiar meminta kesembuhan kepada Allah. Saya tetap pergi ke lantai dua. Melamun dan menangis setengah jam di sana. Bingung saya harus maju atau berhenti saja. Pada akhirnya, setelah menghabiskan satu cup es teller segar saya memberanikan diri menyerahkan berkas saya kepada petugas.

Tapi begini loh Bapak yang terhormat, bukankah setiap pasien berhak tahu penjelasan konkrit tentang langkah yang Bapak maksud? Bagaimana awalnya, bagaimana tengahnya, dan bagaimana akhirnya. Komplikasi apa saja yang kemungkinan terjadi. Hal hal tidak baik apa saja yang mungkin terjadi jika tindakan tersebut tidak dilakukan. Edukasi pasien, gitu loh Bapak...
Bapak juga bertanggung jawab mengecek kondisi kesehatan pasien secara keseluruhan sebelum mengirimnya masuk ke ruangan yang dingin itu. Sehingga pasien yang kurang cerdas macam saya tidak ngamuk ngamuk (walaupun dalam hati saja) dan berencana kabur dari ruang operasi padahal sudah Bapak beri pertolongan.

Ehem, hechem!
Tarik nafas....

Bapak yang terhormat, pasien macam saya ini... Tidak ada hal lain yang saya harapkan selain kesembuhan. Tentunya saya tidak berharap ke Bapak, tapi saya menggantungkan harapan saya tetap kepada Dzat yang menciptakan saya dan juga Bapak. Sepintar pintarnya Bapak, itu kepintarannya juga Allah yang kasih. Kelancaran pekerjaan Bapak di ruang OK juga bukan karena Bapak yang pintar, tapi semata mata karena pertolongan Allah. Sebab Allah sajalah yang menjadikan yang sulit menjadi mudah, yang mudah pun bisa menjadi sulit jika Dia berkendak.

Banyak orang yang memuji kepintaran Bapak, saya pun mengakuinya. Bagaimana bisa dengan pengecekan yang sedikit, Bapak berani mengambil tindakan pembedahan untuk saya. Temuan yang Bapak dapatkan juga tidak satu, tapi tiga.

Tapi Bapak yang terhormat... Bapak ini terlalu terburu buru, tidak memperhatikan kondisi pasien juga. Pasti Bapak tidak tahu, asma saya kumat tidak berapa lama setelah Bapak visite ke tempat saya pada hari kedua setelah operasi. Sementara itu tidak ada satu orang pun perawat atau pun dokter yang lalu lalang ke sana membantu saya. Mereka menganggap remeh keadaan saya... Lantas saya mesti menanggung itu hingga dua hari. Itu sangat menyiksa, Bapak!!!

Menurut saya, Bapak ini dokter sub spesialis yang sangat pintar, berani, tapi juga ceroboh dan kurang bertanggung jawab. Selain itu saya juga punya satu lagi selain keempat poin tersebut. Nanti saya sampaikan kemudian.

Tiga poin pertama penilaian saya tentang Bapak yang terhormat telah saya sampaikan. Sekarang saya lanjut ke poin ke empat. Bagi saya Bapak ini kurang bertanggung jawab. Sebab... Di hari terakhir saya rawat inap di bangsal bedah kelas tiga gratisan pemerintah itu, saya pikir Bapak yang terhormat masih punya tanggung jawab memeriksa kondisi saya. Meskipun dokter lain yang jalan jalan memeriksa pasien lain, sempat menengok saya. Mestinya Bapak yang memberi izin saya pulang, bukan dokter lain. Aneh saja, Bapak yang menggelar dagangan kenapa orang lain yang disuruh membereskan.

Bapak... Bapak yang terhormat, saya ini masih syok. Tidak sekali. Tapi berkali kali. Tentunya ada banyak hal yang ingin saya tanyakan. Saking banyaknya keluhan saya ke suami. Suami saya mencatat di buku semua yang saya adukan ke dia. Saat melihat Bapak menuju ruang perawatan saya, dia segera menelpon saya, mengingatkan supaya mengonsultasikan keadaan saya ke Bapak yang terhormat. Sebab, dia juga pening istrinya mengadu terus, sedangkan dia tidak mengerti kesehatan. Hal yang dia mengerti bagaimana cara melayani pembeli emas di pasar.  Suami saya saja ya Pak ... Dia kalau sudah melayani satu pembeli dari awal pembeli masuk toko, dia pantang tidak menyelesaikannya hingga akhir. Kecuali ada hal pertimbangan lain ya. Ini jual beli loh, Pak. Sementara apa yang Bapak kerjakan ini tidak hanya jual beli jasa. Tapi ada urusan keselamatan orang lain di dalamnya. Bagaimana Bapak bisa mengabaikannya??? Kok ya bisa bisanya Bapak berlepas tangan? Padahal di hari itu Bapak visite juga ke pasien lain di ruangan yang sama. Nyapa sedikit gitu, susah kah? Melambaikan tangan lah, apalah. Berilah penutupan sedikit. Justru Bapak melewati saya begitu saja, menoleh juga tidak. Dengan santainya bapak berjalan, Senyum senyum ala ala Uda Uni Solok   bersama perawat senior yang agak kecentilan kalau ada Bapak, meninggalkan seorang pasien yang kebingungan.

Fiuhhh...

Bapak yang terhormat...
Jika di awal Bapak jelaskan kepada saya tindakan laparoskopi itu seperti apa, seperti halnya dokter anestesi yang sangat ramah itu menjelaskan ke saya, kemungkinan besar saya akan menolak, Pak. Sebab.. perut saya memang sakit.. tapi saya masih mampu menahan sakit itu dibandingkan sakit di bagian tubuh saya yang lainnya.

Jika di awal Bapak menjelaskan kepada saya tindakan laparoskopi itu seperti apa, tentu saya tidak akan merasa sangat ketakutan dan berfikir melarikan diri dari rumah sakit. Dokter anestesi menjelaskan tata laksana prosedur operasi dengan detail kepada saya setelah infus saya terpasang. Malam sudah larut. Saya sudah terbaring lelah di ranjang saya. Lantas bagaimana saya bisa membatalkan rencana operasi begitu saja???

Meskipun rasa takut menghantui saya tetap masuk ke ruang operasi, menatap dinding dan atap yang dingin. Memperhatikan setiap detik jarum jam yang berpindah. Jika saat itu saya memilih berhenti, bagaimana dengan pengobatan penyakit saya yang lainnya? Apakah tidak akan terkendala. Saya masih membutuhkan bantuan medis. Saya memang tidak cerdas memikirkan hal hal seperti itu.

Hanya lirih lirih doa yang saya panjatkan kepada Sang pemilik langit, agar dia menutupi aurat saya dari pandangan mata siapapun yang tidak berhak melihatnya. Membutakan mata Meraka dari apa apa yang tidak patut mereka lihat, menutup ingatan mereka dari apa apa yang pernah terlihat, dan meluputkan ingatan mereka semua dari wajah saya. Sungguh saya sangat malu. Saya tidak mampu menjaga tekad dan janji saya hingga tutup usia saya. sungguh saya ingin termasuk ke dalam golongan orang orang yang dilupakan manusia, dan diampuni oleh Rabb semesta ini.

Poin yang terakhir wahai Bapak yang terhormat, saya menilai Bapak ini termasuk orang yang berkepribadian tidak sopan dan mulutnya lumayan tajam. Pertanyaan dan pernyataan Bapak saat terakhir saya konsultasi ke Bapak itu sangat melukai hati saya, Pak. Sebab apa yang Bapak itu tanyakan tidak patut untuk Bapak tanyakan, tidak ada kaitan sama sekali dengan tujuan pasien berkunjung ke Bapak. Dan, apa yang Bapak nyatakan juga tidak patut untuk Bapak utarakan, karena itu bukan wilayah kerja Bapak. Bahkan jatuhnya fitnah, karena keadaannya justru sebaliknya. Yah, yang jelas apa yang Bapak utarakan tidaklah sesuai dengan etikanya seorang dokter (setahu saya). Bukankah  perkataan dan sikap baik seorang dokter juga akan menjadi obat untuk pasiennya, Pak? Tapi Bapak melakukan hal sebaliknya.

Saya merasa di bully, Pak. Sedangkan pada saat itu saya sedang berusaha mengikhlaskan hati saya menerima rasa sakit yang Tuhan berikan. Saya berusaha tetap teguh menguatkan hati, ikhlas  menjalani pengobatan yang melelahkan ini. Sudah hampir enam bulan saya bolak balik rumah sakit. Menelan sekantong obat setiap hari. Demi saya bisa pulih lagi. Bisa beraktivitas normal lagi. Berhenti ke rumah sakit. Bisa mendampingi anak anak dan suami saya seperti biasa lagi. Nyari duit lagi, dan seterusnya dan seterusnya...

Bapak yang terhormat, saya ini sejujurnya takut dan malu setiap berkonsultasi dengan Bapak. Saya takut menghadapi muka Bapak yang sangar dan tak ramah. Padahal teman saya yang merekomendasikan saya berobat ke Bapak, bilang Bapak ini baik sekali. Antrian yang panjang dan lama menjadikan saya sering lupa akan hal hal yang harus saya utarakan dan tanyakan. Tak hanya kepada Bapak, kepada dokter dokter lainnya pun demikian. Saya banyak lupa, sampai sampai seorang dari mereka menyuruh saya membuat catatan tiap hendak konsultasi.  Padahal mereka (selain Bapak) ramah-ramah semua. Apatah lagi jika saya berjumpa yang sangar, ya bingunglah.

Sejujurnya saya juga malu untuk sekedar bertanya dan mengeluhkan keadaan saya. Sebab  apa yang rasakan sangat tabu (menurut saya) untuk dibahas. Bahkan saya tidak pernah mengeluhkannya pada siapapun, saking malunya saya. Tapi demi kesembuhan, saya benar benar berlatih mengeluh dan lebih banyak memperhatikan keadaan fisik saya akhir akhir ini.

Bapak yang terhormat, saya sudah puas mengoceh sejauh ini. Insyaallah kedepannya saya doakan yang baik baik saja untuk Bapak dan keluarga. Tidak ada lagi marah dan sakit hati. Sebab semua sudah tuntas melalui tulisan ini. Meskipun tulisan ini tidak akan pernah sampai kepada anda.

Terimakasih atas semua kebaikan. Sebab kebaikan akan berbalas pula dengan kebaikan. Ya Rabb, ampunkanlah atas semua kemarahan yang saya lontarkan.

Rumah sakit M.natsir
Bangsal Anak - Menjaga Ibrahim
23 Des 2023/9 Jumadil Akhir 1445H


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku 61 Kisah Pengantar Tidur [IMRC 2015]

Untukmu... Suamiku

Drama Korea vs Hafalan Qur'an