Belajar dari Para Dokter


Pernah terjadi dalam masa pengobatanku pada bulan kelima dan keenam, aku mengunjungi dokter di Poli rawat jalan setiap hari. Mulai Senin hingga Jumat. Beda hari beda poli. Berasa pergi kuliah. Anteri dari pagi pukul 8.00 WIB atau 9.00 WIB. Tergantung mendaftar online atau tidak Karena jika tidak mendaftar online maka harus hadir lebih pagi. Pulang setelah shalat Dzuhur. Berjumpa begitu ramai orang dengan aneka rupa dan kasus kesehatan mereka. Berjumpa para petugas rumah sakit, mulai dari FO dan satpam di pintu masuk, para petugas admisi di rekam medis, para perawat di ruang poli, Anak anak mahasiswa kesehatan, dokter, dan para petugas kebersihan yang berpapasan di mana mana.

Aku berusaha menikmati setiap jenak waktu yang aku lewati. Memperhatikan orang orang, menyibukkan diri sendiri dengan menulis, baca artikel, kalau sedang rajin kadang aku membawa buku buku kajian. Sekedar membaca kopian pelajaran adab bersama Ummu Jawad,  atau sekalian menyalin catatan dan tugas Bahasa Arab. Tidak ingin ada waktu yang tersiakan. Sebab Nikmat waktu terasa sangat berharga. Sesekali aku berjumpa dengan teman lama,  teman kajian atau dapat kenalan baru, lalu ngobrol kesana kemari bersama mereka.

Aku suka memperhatikan kegiatan para petugas admisi yang itu ke itu saja. Tingkah para mahasiswa kedokteran dan keperawatan yang unik unik. Mereka begitu rajin belajar dan menghafal sebelum dokter tiba. Terkadang juga tampak kekanak - kanakan ketika mencoba peralatan medis di dalam ruangan. Aku memikirkan anak - anakku. Andaikan anak - anakku sekolah kesehatan seperti mereka tentu akan habis masa yang sangat panjang, uang yang banyak, dan masa depan di dunia akhirat yang belum juga pasti nantinya.

Orang orang terunik yang tak luput dari perhatianku adalah para dokter. Dari tujuh poli yang sudah aku kunjungi, aku juga berjumpa dengan tujuh dokter yang berbeda watak, polah, dan etikanya. Ada yang aku sukai, ada yang aku favoritkan, ada juga yang membuat aku frustasi.

Diantara mereka adalah dr. Yosti yang ramah dan lembut, dr. Peppy yang ramah dan penuh empati, dr. Bul yang ramah, bijaksana, dan tidak pelit ilmu, dr. Reno yang suka bercanda, dr. Cherry yang ramah dan suka mengedukasi pasien, dr. Jenny yang santai tapi pasti, dan dokter B yang absurd dan mengaduk ngaduk emosiku.

Aku mengenal dr. Yosti pertama kali saat beliau datang ke rumahku di acara halaqah dulu. Ketika itu beliau masih pengantin baru, baru diangkat jadi dokter dan aku sedang hamil anak pertama lima atau enam bulan. Aku ingat waktu itu setelah halaqah bubar  beliau mengajakku janjian berjumpa untuk makan eskrim di Taman Kota. Lalu kami bertukar nomor ponsel. Hanya aku yang ditawari, teman teman yang lain tidak ada. Aku agak sedikit tidak paham, tapi tetap memenuhi ajakannya waktu itu. Aku sempat mendengar bisik bisik berita di masa lalu dari beberapa orang , termasuk Abangku sendiri. Berita yang tidak pasti dan tidak perlu dibahas juga. Barangkali dr. Yosti hanya sekedar penasaran dan hendak sedikit mengenalku saja saat itu. Setelah hari makan eskrim itu kami tidak pernah bicara atau pun berjumpa lagi. Uniknya beliau bisa mengenaliku dari nama di map rekam medis. Kebetulan aku diduga SLE, beliau meminta aku memperlihatkan wajah memastikan ada tidaknya ruam kupu kupu.

         (Gambar Ilustrasi Poli Interne)

Luar biasa memang ingatan seorang dokter, hanya dua kali berjumpa saja dia bisa mengingatku belasan tahun kemudian. Sementara aku tidak mengenalinya sama sekali. Tapi aku ingat rumah reot Bapakku pernah dikunjungi seorang dokter ketika acara halaqah.

Aku tidak kenal sama sekali dengan dr. Peppy. Tapi hati dan kakiku terobati saat berjumpa beliau. Sikap ramah dan empatinya menjadi obat mujarab bagiku, juga pasien pasien lainnya. Meskipun adakalanya sikap empati beliau bercampur dengan kepo😁

Dulu aku sering mengeluh cemburu melihat tumit ibu ibu yang mulus bersih di mesjid. Berbeda jauh dari tumitku yang pecah pecah, menghitam dan kering sejak punya satu bayi. Sekarang Alhamdulillah tumitku sudah kembali semula. Tinggal menunggu kuku jempol tumbuh dan merintangi pertumbuhan jamur candida.

dr. Peppy suka memudahkan urusan pasien pasiennya. Sampai hal-hal yang tidak masuk akal juga beliau mau membantu. Beliau suka mengobrol akrab dan asyik dalam bahasa Minang totok. Gelombang rasa di Poli Kulit seolah sedang berada di tempat lain yang santai. Di sana kami bisa mengobrol ringan dan bercanda. Menurutku dokter terbaik yang pernah aku temui adalah beliau. Figur dokter yang merakyat, bisa dekat dengan semua lapisan. dr. Peppy cocok menjadi pemimpin rumah sakit di masa mendatang. Tidak hanya aku yang merasakan nyaman, aku pikir semua pasien beliau juga demikian. Aku bisa melihat itu dari panjangnya antrian, obrolan orang orang diluar dan di dalam ruangan. Sampai sampai mereka bisa curhat tentang anak - anaknya, juga masakannya. Ada juga yang suka membawakan beliau buah tangan. Tidak semua dokter mendapat tempat yang sama di hati para pengunjung rumah sakit. dr. Peppy memang spesial.

Ada lagi dr. Bul. Aku sering melihat beliau lalu lalang ketika sedang menanti antrian di Poli Kulit. Memang Poli Kulit dan Bedah Mulut bersebelahan. Beliau juga ramah kepada semua pasiennya. Mau tua, muda, anak kecil. Sama saja. Beliau juga sabar dan bijak. Ini sangat terasa ketika persiapan operasi gigi. Aku sangat gugup dan mempertanyakan banyak hal.

"Tidak apa apa. Pelan pelan saja. Tidak perlu terburu buru. Apa lagi yang mau ditanyakan?" Ucap beliau tenang. 

Kondisi ini umpama terlepas dari setruman listrik bagiku. Aku bisa menata hati lagi agar lebih tenang menghadapi situasi di ruang operasi.

    (Gambar ilustrasi peralatan dokter gigi)

Sama halnya ketika datang ke Poli untuk mencabut gigi bawah kiri. Beliau mau menunggu sampai aku bisa benar benar tenang dan siap. Ketika itu kepalaku tegang, nafas sedikit sesak, tensi mendadak tinggi. Beliau tertawa ringan mencairkan suasana. Bertanya berkali kali. Apakah aku sudah siap atau belum. Begitupun setelah proses jahit gusi selesai. Aku tiba tiba terkena serangan panik dan menjadi begitu gugup. Beliau mau bersabar menunggu sampai aku tenang dan bisa mendengarkan nasehat beliau agar tidak ada komplikasi. Hal - hal apa yang tidak boleh, hal - hal apa yang harus dilakukan. Beliau juga tidak keberatan memeriksa obat obatan yang sedang aku konsumsi dari Poli Poli lain, agar tidak ada 'tabrakan'. Allahumma barik. Beliau sangat baik dalam pelayanan. Dokter gigi di Puskesmas juga kalah dari beliau. Semoga banyak dokter - dokter lain yang seperti beliau.

Aku sempat mampir satu kali ke Poli Saraf dan berjumpa dr. Reno. Beliau tipe santai dan sangat suka bercanda. Kepahitan hidup orang lain dan kekurangan dirinya sendiri juga bisa menjadi bahan candaan. Waktu itu ada seorang Ibu hamil yang berobat ditemani suaminya. Tangan si Ibu mendadak lemas setelah menyetrika. dr. Reno memarahi suami ibu tersebut dengan caranya sendiri.

"Tangannya kenapa?" Tanya beliau.

"Habis menyetrika tiba tiba saja lemas, Bu." Jawab ibu tersebut sambil memperlihatkan tangannya yang terkulai.

"Menyetrika berapa banyak?"

"Dua keranjang, Bu."

"Dua keranjang?! Bapak bapak ini dikira istrinya kerjaannya main main. Dibiarkan menyetrika dua keranjang!" Beliau tertawa ke perawat di Poli itu. Semua orang meredam senyum.

"Anak berapa, Pak?" Tanya dr. Reno lagi.

"Empat, Bu." Si Bapak tersipu malu.

"Banyak betul, Pak!"

"Iya mumpung masih muda, Bu." Balas si Bapak tak mau kalah.

"Oh, Bapak nyindir saya, ya? Karena saya sudah tua?"

"Eh, engga, Bu." Jawab si Bapak cepat.

Pecah suara tawa di Poli saraf siang itu.

Sungguh pun begitu asyik mendengar celoteh dr. Reno, aku tidak cukup puas konsultasi dengan beliau. Jika harus kesana lagi rasanya aku ingin ganti dokter lain. Maaf ya, dr. Reno^^

Lain lagi dengan dokter B. Aku sengaja tidak menyebutkan namanya karena namanya cukup dikenal baik oleh para pasien. Jangan sampai tulisan ini mengganggu karir beliau. Toh, aku sekedar curhat.

Aku mulai merasa tidak nyaman konsultasi dengan dokter B sejak awal. Setiap memasuki ruangan beliau selalu ada  nuansa horror. Sikap beliau yang kaku dan nada bicaranya tegang, terasa menakutkan. Lain waktu dia bisa tertawa sendiri, senyum sendiri, lalu bisa tiba tiba marah, pernah juga terlihat seperti ingin menghindar. Tampak jelas dari cara duduk dan posisi map rekam medis yang menyamping. Berbeda jauh dengan dokter - dokter lainnya. Meraka biasanya selalu menaruh map di depan dan berhadapan dengan pasien. Pernah juga suatu waktu beliau berbicara tajam, terkesan sok tahu dan merendahkan. Bertampang bijaksana dan sabar pun pernah aku temui. Beliau benar benar absurd, sesuka hatinya saja dan agak kurang bertanggung jawab.

Ini bukan tuduhan tanpa alasan. Pengalaman ku sendiri ketika hari terakhir rawat inap pasca operasi laparoskopi. Beliau tidak melakukan visite sebelum memulangkan pasien. Aku mendapat izin pulang dari dokter lain. Entah siapa. Aku tak tahu. Padahal semestinya itu tanggung jawab dokter yang bersangkutan. Sementara, beliau bisa visite ke pasien lain di ruangan yang sama pada hari itu. Aneh kan? Benar benar absurd. Bagi beliau meninggalkan pasien itu mungkin sudah hal biasa. Barangkali karena pasiennya tidak kondisi gawat darurat, menurut beliau. Tapi beliau tidak mengerti, tak punya empati akan rasa sakit yang ditanggung para pasien.

Suatu kali aku berjumpa dengan pasien yang satu ruangan rawat inap pasca operasi laparoskopi, di Poli G. Ia bercerita bahwa dr. B tidak hadir di Poli ketika jadwal kunjungan pekan lalu. Banyak yang kecewa. Terpaksa bersabar, membawa pulang lagi rasa sakit mereka. Kemudian di dalam ruangan Poli aku mendengar candaan seorang perawat yang minta oleh oleh dari Thailand. Hmm... Benar benar tega si Dokter. Tampaknya, beliau baru kembali dari luar negeri.

Masih ada satu lagi... Ketika bulan berikutnya aku rawat inap lagi pasca operasi gigi, aku bersebelahan ranjang dengan pasien dr. B. Pasien itu pasca operasi laparoskopi karena usus buntu. Seorang perawat mengabarkan bahwa dr. B  libur selama sepekan. Artinya pasien itu belum pernah dikunjungi dr. B sama sekali. Yah begitulah, pasien itu diselesaikan kan urusannya oleh dokter lain hingga dapat izin pulang.

Berikutnya dr. Cherry. Beliau masih sangat muda tapi sudah menjadi favorit banyak pasien. Seringkali kuota pasiennya membludak mengalahkan dokter dokter Ortopedhi senior. Memang beliau ramah, sopan, dan sangat sederhana. Beliau sangat edukatif. Beliau mau meluangkan waktu untuk mendengarkan keluha pasien hingga tuntas, beliau juga mau meluangkan waktu menjelaskan penyebab dan solusi dari keluhan-keluhan pasiennya. Ini yang sangat dibutuhkan pasien. Empati dan Edukasi!

Bagi dokter Cherry, obat dan terapi di rehabilitasi medis hanyalah salah satu jalan kesembuhan saja. Hanya untuk bantu bantu. Yang berperan besar dalam kesembuhan pasien adalah diri mereka sendiri. Untuk itu sangat dibutuhkan edukasi.

Seperti halnya aku dengan kondisi saraf terjepit, osteoarthritis, serta nyeri berbunyi bunyi di  banyak sendi sendi besar dan kecil. Beliau berulang kali mengingatkan untuk rutin olah raga, bersepeda, berenang dan minum susu. Ditambah makan buah pisang untuk mencukupi kebutuhan kalium tulang. Makan pepaya untuk mengatasi sembelit. Nah, kalau sudah begini vibrasinya sangat positif.

Selain memberitahu hal yang harus dilakukan beliau juga menjelaskan hal hal yang harus aku hindari. Misalnya, mengangkat beban berat, naik turun tangga, dan kegemukan. Aku semakin bersemangat memfasilitasi diri sendiri untuk menjaga tubuh, diet sehat, dan olah raga.

Aku menyampaikan semua nasehat dokter Cherry ke suami. Kebetulan beliau ada rezeki, aku pun dibelikan sepeda statis. Yaa Rabb... Senang sekali rasanya. Bisa mendapatkan sesuatu yang sudah ku inginkan sejak lama. Tahun kemarin kami ingin beli sepeda gunung tapi belum kesampaian. Tapi aku tidak berhenti berdo'a dan berusaha supaya bisa punya sepeda. Alhamdulillah sekarang terwujud meski hanya di dalam rumah saja. Allah Maha Mengetahui apa yang terbaik untuk hambaNya. Jika tahun kemarin kami paksakan membeli sepeda, mungkin sekarang sepedanya hanya jadi mainan anak anak atau tidak terpakai sama sekali.

Terakhir dokter Jenny. Beliau sosok yang unik, sederhana, dan santai. Dari cara berpakaiannya, sikapnya, dan cara beliau menghadapi pasien. Konsultasi dengan beliau sangat santai. Seperti mengobrol biasa. Agak mirip dengan dr. Peppy. Barangkali mereka memang Bestie. Ah, hanya terkaanku saja. Yang paling seru itu, beliau tidak punya meja seperti dokter di Poli lain. Konsultasi dengan beliau cukup duduk di kursi pemeriksaan, duduk berhadapan langsung dengan beliau. Tanpa pembatas meja besar. Beliau sendiri menulis ala ala anak gaul SMA di atas satu kakinya.


          (Gambar ilustrasi Poli THT)

Satu hal paling aku sukai dari beliau adalah sifat dermawannya. Beliau dermawan dengan ilmu dan informasi. Satu pertanyaan yang aku ajukan, bisa berbuah sepuluh jawaban. Hmmm.. ini bagian paling berkesan bagi orang orang kepo seperti aku.

Diantara dokter dokter hebat yang pernah aku temui... dr. Peppy menjadi pemenangnya. Tetapi tetap ada pelajaran berharga yang aku timba dari dokter dokter lainnya. Seperti dr. Bul yang memberi pelajaran tentang kesabaran, sangat bermanfaat untuk dipraktekkan ke anak anakku. dr. Cherry dan dr. Jenny memberi teladan  tentang kedermawanan dan kesederhanaan. Dari dr. Yosti aku belajar tentang kelembutan dan sifat sabar yang mampu menjadi pemecah persoalan. Dari dr. Reno aku belajar tentang cara menikmati hidup. Dan dari dr. B aku belajar...  Cukup menjadi air yang tenang menghadapi pasang surut gelombang. Sebab, hanya dengan bersikap tenang, aku bisa selamat di Poli G. Hanya dengan tenang, fokus dengan tujuan, dan sedikit taktik aku bisa memperoleh semua informasi yang aku butuhkan. Hanya  dengan sikap tenang aku bisa memenangkan pertarungan emosi menghadapi beliau.

Begitulah... Mereka semua hebat dan mampu memberi manfaat untuk orang lain. Semoga mereka mendapatkan balasan kebaikan yang berlipat ganda.

Solok, 31 Januari 2024
19 Rajab 1445H

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku 61 Kisah Pengantar Tidur [IMRC 2015]

Untukmu... Suamiku

Drama Korea vs Hafalan Qur'an