Menantang Badai



Badai itu memang besar. Menerjang semua pertahanan yang aku miliki. Aku berusaha menjadi kuat meskipun telah tertatih melangkah. Aku berusaha tetap tegar meskipun sejatinya aku hanyalah seorang perempuan bermental rapuh.

Ujian demi ujian yang Allah berikan menjadi tempaan berharga untuk aku tetap bertahan menghadapi kenyataan hidup yang sesungguhnya. Entah rencana apa yang sedang Allah siapkan untukku. Tapi aku yakin semua rencana-Nya baik untuk ku. Semua rencana-Nya sesuai dengan batas kemampuanku.

Semakin hari tulang-tulang dan sendi-sendiku semakin sakit. Terutama di pagi hari, setelah duduk lama, setelah berdiri lama. Semua terasa kaku dan nyeri. Aku tidak bisa melipat kaki terlalu lama saat shalat. Aku tidak mampu berdiri dan berjalan lama. Sebab tumit, telapak kaki dan punggung kaki terasa nyeri semua. Terkadang aku terpaksa menyeret kaki saat berjalan untuk beberapa menit. Aku tidak bisa duduk lama, karena pinggangku nyeri dan kaku. Kalau sudah begitu aku akan berbaring sebentar, lalu berjalan jalan keluar rumah mencari matahari.

Jadwal operasi gigi bungsu sudah dekat. Rasa syok dan takut masuk ruang OK saat operasi laparoskopi masih menyisakan ingatan dan rasa tidak nyaman yang membekas. Aku sulit tidur, sering melamun, pikiranku kemana mana. Di dalam doa doa yang ku minta petunjuk dan kemantapan hati tentang rencana operasi di bulan Desember.

Lintasan pikiran-pikiran buruk tak bisa ku elakkan. Bagaimana kalau aku tambah sakit? Sebab sebelum operasi laparoskopi kemarin aku baik baik saja, setelahnya justru kondisi tulang tulang ku memburuk. Bagaimana kalau aku tidak selamat? Lalu berakhir di sana? Berakhir di ruang OK sama halnya berakhir dengan aurat terbuka,  meskipun hanya sebagian.  Rasanya aku ingin menghentikan semua pengobatan. Sebab sudah banyak waktu yang aku habiskan. Tidak seberapa hasil yang aku dapatkan. Aku juga ingin belajar seperti teman teman lain. Aku juga ingin setor hafalan seperti dulu lagi. Pergi kajian setiap akhir pekan, lalu belajar bahasa arab di hari berikutnya.

Tapi jika aku berhenti disini, pasti nanti sulit dan lebih lama lagi menanti antrian untuk operasi gigi. Sementara hidung, telinga, tulang pipi dan kepalaku sering sakit dan terasa ditusuk-tusuk. Jadwal ke Poli Bedah Mulut sudah sangat dekat tapi urusan di Poli G masih juga belum selesai. Aku semakin gelisah.

Sejujurnya ada rasa takut, malu, enggan, kesal, dan marah di hatiku kepada dr. B. Hal itu membuat aku selalu berfikir berkali-kali setiap akan berangkat lagi ke poli G.

"Bu, besok aku mau bercerita agak panjang sama dr. B, aku mau jelaskan semuanya. Aku mau bawa hasil rongent dari  dr. Yosti. Aku ingin diterapi juga, biar enakan pinggangnya." Aku menengok ke ibu. Tanganku sibuk memasukkan sampah ke tong.

"Memang dia mau mendengarkan?? Katanya pemarah."
"Dicoba dulu. Besok, Senin aku ke dr. Bul. Nah.. Selasa baru aku ke dia. Biasanya Selasa itu pasiennya tidak banyak. Kata Bu M. Senin Kamis yang ramai."
"Ya.. cobalah.." jawab Ibu pelan.

Aku suka bercerita ke Ibu tentang apapun hal yang ingin aku lakukan. Biasanya tanpa aku minta beliau akan menyelipkan doa untuk semua urusanku. Apalagi kalau aku minta. Bercerita ke Ibu sama halnya minta doa ke beliau.

Hari Senin pagi aku konsultasi dengan dr. Bul tentang rencana operasi. Tadinya aku masih ragu, ingin minta langsung dicabut gigi bawah kiri saja di Poli. Tapi obrolan dengan dr. Bul mengalir begitu saja. Dan aku menguatkan hatiku untuk lanjut dengan rencana semula.

"Pak, kenapa ya setelah operasi yang kemarin semua tulang-tulang saya sakit? Nanti kalau saya operasi lagi apa tidak akan tambah sakit, ya? Apa ada pengaruh anastesi?"
"Yaa... gimana ya.. nanti kalau saya jawab, saya salah. Dikonsulkan ke dokter anastesi saja nanti, ya," jawab dr. Bul tersenyum ramah.

"Pak, sekarang kepala saya suka sakit berasa ketusuk- tusuk. Disini disini disini disini. Pernah juga jidat saya berasa ditinju pas lagi bawa motor. " Aku menunjuk semua sisi kepala.

Dokter Bul tertawa renyah. Menyadarkan aku, bahwa cara bicaraku persis seperti anak-anak mengadu ke Bapak gurunya. Aku memperbaiki posisi duduk.

"Tidak ada seperti itu.. memang masalah gigi menjadi salah satu penyumbang sakit kepala. Tapi bukan setelah operasi lalu jadi sakit kepala dimana-mana. Kecuali sudah ada sakit kepala sebelumnya."
"Tapi memang saya sebelumnya sering sakit kepala, Pak. Pernah juga di rujuk ke Poli Saraf. Kata dokternya sakitnya bukan karena saraf, tapi karena SLE nya. Ana tes saya kan negatif, Pak." Jelasku pasti. "Tapi setelah laparoskopi ada berkurang sebagian sakit kepalanya..."
"Kata dr. B bagaimana?"
"Gak ada ... Beliau katanya cuma mengurusi perut. Bukan yang lain."

dr. Bul tersenyum kecil mendengar penjelasan ku.
"Jadi kita angkat yang terpendam di atas saja dulu? Kemungkinan sakit kepalanya juga dari sana."

Aku berfikir sebentar kemudian langsung mengiyakan. Barangkali memang sudah jalannya begini. Semoga ada kemudahan untukku.

"Baik, saya jelaskan dulu. Nanti yang akan diangkat gigi atas. Setelah operasi mungkin nanti pipinya akan bengkak. Karena saraf saraf gigi berdekatan dengan pipi."

Aku langsung memegang pipiku. Membayangkan bengkak yang dr. Bul sampaikan. Bahkan sebelum operasi gigi pun pipiku sudah bengkak karena lemak. Seperti apa nanti kalau sudah operasi ya?

"Tapi nanti bengkaknya bisa hilang. Hanya sementara." Jelas dr. Bul lagi. 

"Ooh tidak berbahaya kan, Pak?" Tanyaku memastikan.

"Tidak..." Jawab beliau lembut.

Aku mengangguk mengerti. Aku teringat dengan perkataan salah satu pasien dr. Bul yang kebetulan bertemu di depan poli waktu itu. Namanya Lia. Lia bercerita bibirnya juga sedikit robek pasca operasi karena tergesek tangan dokter. Artinya luka luka semacam itu memang sudah lumrah dan tidak berbahaya.

"Biasanya Konsul asma dimana?" Ucap beliau lagi.
"dr. Yosti,"
"Bukan di Paru?"
"Bukan," jawabku pasti.

Setelahnya aku dijadwalkan Konsul dengan dr. Yosti. Aku menemui dr. Yosti dua hari setelahnya.  Dari obrolan singkat ku dengan beliau, beliau kembali menawarkan aku untuk dirujuk ke M Djamil. Aku terdiam tidak tahu harus menjawab apa. Kemudian beliau memberikan lembaran pengantar untuk cek EKG ke Poli Jantung. Aku patuh saja. Ternyata pemeriksaan EKG cukup kurang nyaman. Tapi yah sudahlah, semoga Allah mengampuni aku.

Aku kembali ke dr. Bul membawa catatan dari dr. Yosti, lembar tes EKG dan  dan hasil cek darah. Dari beberapa poin yang tertulis di hasil cek darah, ada tiga poin yang tidak sesuai standar. Salah satunya hematokrit. Nilainya sedikit di bawah standar tapi   menurut dr. Bul tidak masalah. Masih aman untuk tindakan operasi nanti. Aku mempertanyakan banyak hal dan merasa sangat gugup. Untungnya dr. Bul sangat sabar dan punya empati.

"Tidak apa apa. Pelan pelan saja. Tidak perlu terburu buru. Apa lagi yang mau ditanyakan?" Ucap beliau tenang. 

Kondisi ini umpama terlepas dari setruman listrik bagiku. Aku bisa menata hati lagi agar lebih tenang menghadapi situasi di ruang operasi nanti. Pertolongan Allah datang dalam berbagai bentuk yang tidak pernah diduga.

Tiba waktu kunjungan ke Poli G. Aku diboncengi suami berangkat pagi itu. Aku sengaja berangkat lebih pagi supaya tidak terlambat dari dr.B. Dulu waktu pertama kali datang ke poli G, aku terlambat hadir. Hanya selisih 30 menit dr. B sudah berangkat ke ruang OK. Jadwal konsultasi pun diundur ke hari lain.

Dari pukul 8.00 pagi aku sudah duduk di depan poli. Setengah jam setelahnya baru bisa bertemu Bu M.
"Nanti kalau ada pasien satu lagi baru kita telponkan dokter," ucap Bu M ringan.

Hatiku bergemuruh. Tunggu pasien satu lagi? Kalau tidak ada bagaimana? Sementara tulang tulangku semakin tidak karuan. Kakiku sakit saat duduk lama dan diinjakkan. Apalagi lutut, pinggang dan bahuku. Aku sudah tidak punya diksi yang tepat lagi untuk menggambarkan rasa nyeri yang aku rasa.

Kalau sudah begini, ada satu hal yang selalu teringat. Dosaku kepada suami. Aku merasa sangat menyesal sering menantang suami bahwa aku bisa 'sendiri', bahwa aku bisa menanggung anak-anak tanpa dia. Aku terlalu angkuh. Semakin besar keangkuhan ke suami, semakin aku tercampak ke beragam rasa sakit yang tidak mampu ku pahami, semakin fisikku melemah dan sangat ketergantungan ke beliau.  Lagi-lagi karena keras kepala. Astaghfirullaah..

Barangkali memang Allah tengah mendidik aku agar hati ini menjadi lembut, agar aku sadar diri bahwa aku sangat butuh suamiku, agar aku lebih menghargai semua usaha beliau untuk aku dan anak-anak.

Air mataku jatuh begitu saja. Aku pindah ke tempat duduk lain yang sepi. Memijit-mijit punggung kaki, berusaha menyembunyikan tangis dari pengunjung lain. Tidak lama setelah itu Bu M memanggil, menyuruh aku masuk ke Poli G. Dokter B masih belum juga tiba. Waktu terasa sangat panjang dan menjemukan. Aku ingin urusan ini cepat selesai tapi hatiku sudah mulai berantakan. Entah bagaimana cara menjelaskan maksudku kemarin ke dr. B

dr. B tiba, aku dipanggil perawat, teman Bu M masuk ke ruangan beliau. Aku menyeka sisa-sisa air mata. Berusaha tegar agar urusan ini cepat selesai.

"Suami Ibu mana?" Tanya dr. B spontan.

"Kerja, Pak," jawabku agak bingung. Apa urusannya dengan suami?

"Kenapa Ibu menangis?" Tanya dr. B dengan nada tinggi. Aku hanya diam tidak menyahut. Air mataku jatuh lagi.

"Ibu Yeyen ini ditinggal suaminya makanya sakit-sakitan." Ucapan dr. B menikam hatiku terlalu dalam. Aku tersinggung.

"Endaklah, Pak." Sahutku sopan.

Aku duduk dan menyembunyikan kepalaku ke pinggir meja dr. B, menyeka sisa-sisa air mata yang terus mengalir.

"Iya ini. Karena ditinggal suami makanya sakit." Ucapan beliau terlalu menusuk dan aku benar-benar sakit hati.

Aku tidak merespon tuduhan beliau. Aku tidak ingin membuat keributan, aku butuh terapi untuk tulang-tulangku. Ibu M tiba dan menjelaskan keluhanku kepada dokter B. Kemudian situasi di dalam poli menjadi sangat emosional karena aku tidak bisa menahan tangis. Aku menyampaikan semua keluhanku dengan sedikit berteriak ke dr. B. Sementara beliau tetap saja kukuh dengan tuduhan semula. Aku terus berusaha menyeka air mata, tapi ia tetap turun hingga aku berhenti bicara.

Bak seorang ibu yang penyayang , Bu M memegang bahuku dari belakang kursi pasien. Memberikan tambahan energi untuk seorang anak yang tengah frustasi.

"Yeyen ini gimana ... Belum tua sudah sakit-sakitan," ucap Bu M mencairkan suasana.
Aku tergelak mendengarnya.
"Dibagi-bagi lah bebannya. Jangan tanggung sendiri." Sambung beliau lagi. Aku mengangguk mendengar petuah Bu M. Ah Bu M.. Terimakasih!

dr. B memberikan surat rujukan untuk ke Poli Ortopedi. Bu M mengantarkan aku, menunggui hingga aku selesai konsultasi dengan dokter di sana. Aku bertekad tidak ingin kembali lagi ke Poli G. Kecuali ketika benar-benar tidak mampu lagi menahan sakit.

Aku memberitahukan Ibu tentang kejadian itu,
"Biarlah aku bawa mati saja sakit perutku Bu, aku tidak mau operasi lagi." Ibu tertegun mendengar ucapan ku. Air matanya menggenang. Ia memandangku lama. Lalu terurai cerita panjang dan kekhawatirannya kepadaku. Beliau begitu khawatir jika aku mengalami hal yang sama dengan dua tetangga kami yang sudah lebih dulu berpulang. Usia mereka sama denganku. Keduanya meninggal dalam waktu berdekatan. Mereka berpulang tidak berapa lama setelah operasi pengangkatan usus.

"Kalau kamu tidak ada, bagaimana Ibu bisa membesarkan anak-anakmu? Ibu hanya mampu memberi mereka makan. Ibu tidak mampu mendidik mereka. Sedangkan Ibu sudah tua. Ibu sudah lelah." Aku terdiam mendengar ucapan Ibu. Aku berusaha mengalihkan pembicaraan dan menghibur hati Ibu kembali.

Jadwal operasi gigi sudah di depan mata. Hatiku semakin gelisah. Rasa takut mendera terlalu kuat. Aku takut tidak akan mampu melaluinya. Tentang rasa sakit saat diinfus, intimidasi di ruang perawatan, intimidasi di ruang Ok, sebagian aurat yang tersingkap, obat-obatanku yang semakin banyak, hingga empat belas macam. Aku berfikir ini akan menjadi jalan terakhirku. Sejak awal aku sudah menargetkan di bulan Desember selesai semua urusan ke rumah sakit. Sehat atau tidak hidupku harus kembali normal seperti semula.

Besok tiba waktunya berangkat ke rumah sakit. Aku mencicil membersihkan rumah dan mempersiapkan semua keperluan selama rawat inap. Pikiranku masih terombang ambing dalam keraguan. Sudah benarkah rencanaku kemarin?

Aku menghubungi Ummu Jawwad, minta saran dan nasehatnya. Aku menjelaskan semua pikiran dan kekhawatiranku. Seperti biasanya, beliau selalu mengatakan, "Mungkin memang di sini ladang pahala Ummu yang lebih besar." 

Aku mendengarkan kelanjutan nasehat beliau dengan tenang, "Semoga diberi kesabaran. Jika Ummu memutuskan berhenti berobat karena khawatir ketinggalan belajar, nanti jatuhnya malah Ummu dzolim ke diri sendiri. Sedangkan sakit Ummu ini, Ummu yang bisa merasakannya. Apakah Ummu kuat menahan ketika sakitnya tiba? Bagaimana kalau tidak kuat? Lalu justru bertambah parah? Sebaiknya tetap berikhtiar, kuatkan do'a, dzikir, jangan berpikir jauh-jauh. Insyaallah tidak akan apa-apa." Teduh kembali rasanya hatiku. Semangat kembali menyala.

Seperti sebelumnya, aku menitipkan anak-anak ke rumah Ibu. Abang mengatarku ke rumah sakit.  Setelah urusan administrasi selesai, beliau kembali pulang digantikan suamiku. Kondisiku memang tidak terlalu baik. Aku lebih banyak berbaring dan beristirahat. Aku berdoa sekuat mungkin agar diberi pertolongan, kekuatan, dan ditutup auratnya selama di ruang Ok. Dengan izin Allah aku dipertemukan dengan penata anestesi yang baik hati. Ia berusaha menutup auratku selama proses memasang alat pendeteksi detak jantung. Sampai-sampai ia dimarahi oleh dokter anestesi karena terlalu lama. Tetapi ia tetap bertahan,

"Mana tahu malu, Dok." Ucapnya gemetar.

Operasi berjalan lancar. Aku terbangun dua jam setelahnya. Sebab ada sedikit masalah di pernafasan. Kemudian aku dikembalikan ke ruang perawatan. Semua proses berjalan cepat. Pipiku  sedikit membengkak. Kedua sudut bibirku juga luka lecet. Suamiku memberikan bungkusan perban dari ruang OK. Isinya dua gigi gerahamku yang sudah dicabut. Kedua gigi itu nampak panjang dan besar. Salah satunya tampak punya mahkota yang lebih panjang dari yang lainnya. 

"Barangkali  yang panjang ini gigi kiri." Ucapku pada suami.

"Kenapa begitu?" Beliau heran dengan dugaanku yang sok tau.

"Karena sudut bibir yang kiri lebih besar lukanya. Di foto rongent juga kelihatan yang kiri lebih miring dan panjang." Jelasku yakin.

"Hmm... Bisa jadi." Jawab suami enteng.

 Di hari kedua setelahnya aku diizinkan pulang oleh dr. Bul. Kata orang-orang memang rawat inap untuk operasi gigi hanya dua hari saja. Gusiku juga cepat proses penyembuhannya. Memang sempat mengalami infeksi dan peradangan, tapi setelahnya tidak apa apa lagi. Jaringan di dalamnya juga sudah mulai tumbuh sebulan setelah operasi.

Alhamdulillah aku bisa mengatasi masalah perutku sendiri hingga satu bulan setelah kunjungan terakhir ke poli G. Selama lebih sepekan perutku terus terusan sakit setiap hari. Terkadang hanya sensasi tertusuk tusuk, terkadang kram. Hingga suatu saat di tengah malam perutku mengeras seperti batu. Membuat aku terbangun dan menangis seperti anak-anak. Suamiku berusaha meruqiyah semampu beliau.
Dua hari setelahnya ku Konsul ke Poli G lagi. Sebelum berangkat aku menyiapkan mental, berdoa minta kepada Allah Al Lathif agar Dia melembutkan hati dr. B untuk membantuku. Atas pertolongan Allah konsultasi berjalan lancar. Hal terpenting adalah dr. B mau menjawab semua pertanyaanku. Aku didiagnosa Konstipasi kronis dan dianjurkan untuk menjalani Kolonoskopi agar bisa memastikan kondisi ususku. Tentu saja aku menolaknya dengan halus.

Memang sikap dr. B telah berubah jauh lebih baik dari sebelumnya. Tidak ada lagi pandangan mata yang tajam, wajah yang kaku, dan lainnya yang membuat aku tak nyaman. Beliau tampak lebih menghargai. Memberikan keluangan waktu untuk berbicara dan bertanya. Tapi... Aku masih merasa tidak percaya ke beliau. 

 Termasuk ketika aku mempertanyakan penyebab kram perut. Beliau mengatakan bahwa penyebabnya adalah karena saraf terjepit. Aku tidak percaya. Kemudian di waktu yang lain aku mencari kebenarannya sendiri dengan caraku. Apalagi? Kalau bukan bertanya ke dokter Ortopedhi? Tanpa membawa nama dr. B tentunya. Jawaban yang aku dapatkan juga sesuai dengan yang aku pikirkan. dr. B menyembunyikan kebenaran (lagi).

Aku tidak tahu kenapa sikap dr. B bisa berubah 180°. Aku juga tidak ingin mencari tahu. Aku berharap tidak ada lagi pasien beliau yang merasa dirugikan seperti aku, dan karir beliau kedepannya juga lebih baik.

Semoga badai ini segera pergi, berlalu meninggalkan banyak kenangan manis dan pelajaran berharga yang bisa dipetik. Sungguh tidak ada hal menjadi mudah, kecuali Allah yang memudahkan. Pun tidak hal yang menjadi sulit kecuali Allah yang menyulitkan.

Solok, 7 Januari 2024

25 Rajab 1445H  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku 61 Kisah Pengantar Tidur [IMRC 2015]

Untukmu... Suamiku

Drama Korea vs Hafalan Qur'an