Berdamai dengan Takdir


Menjadi lemah disaat kamu ingin tetap kuat rasanya tak mudah. Terpaksa diam tidak bisa berbuat apa - apa rasanya memalukan bagi seorang yang biasa berjuang. Ingin hati melawan keadaan tapi keadaan itu sendiri bukanlah milikmu. Tapi milik Sang Pencipta waktu, bumi, langit dan segala isinya.

Menyerahkan semua keadaan. Berbesar hati dengan semua goresan takdir yang telah Dia tuliskan. Hanya itu yang pantas seorang hamba lakukan. Sebab Khalik pasti lebih tahu yang terbaik untuk makhluk-Nya.

Berbicara diatas teori jauh lebih mudah dari pada melakukannya. Meskipun aku tahu teori itu sejak lama, tetap saja banyak cucuran air mata yang tumpah. Tetap saja ada hati yang keras berusaha menolak, dengan dalih berikhtiar... Memang aku terlalu keras kepala. Sulit bagiku menerima diagnosa dr. Yosti bahwa aku mengidap autoimun. Apalagi hasil tes di Poli Reumathologi negatif. Jenis penyakit ini terlalu menyakitkan untuk ku sandang. Penyakit yang tidak ada sembuhnya. Penyakit yang bisa menimbulkan banyak komplikasi. Penyakit yang mematikan bila tidak tertangani dengan baik.

Aku... Merasa diriku baik-baik saja. Memang banyak rasa sakit. Tapi tidak seburuk itu juga. Aku punya banyak cita - cita. Aku punya anak - anak yang sedang tumbuh dan butuh banyak cinta. Yaa Rabb... Barangkali aku terlalu mencintai dunia ini.
Aku masih ingin menuntut ilmu, sebab aku fakir ilmu. Aku ingin berpulang dengan sebaik - baik keadaan. Sementara kini ilmu dan imanku masih sangat jauh. Jauh dari kriteria yang semestinya.

Seringkali kali Ummu Jawwad menasihatiku, "Mungkin memang di sini ladang pahala Ummu lebih banyak. Semoga diberi kesabaran."
Tapi hatiku terkadang berontak, Ah! tidak bisakah ladang pahalanya selain ini??? Astaghfirullaha wa atuubu ilaihi..

Pertarungan Emosi

Salah satu dampak dari sifat keras kepalaku adalah terdamparnya aku di Poli G. Aku sangat menyesal. Aku menyesal dengan hati yang keras ini. Tapi perjalanan harus terus dilanjutkan.  Penyesalanku tak bisa menghentikan keadaan. Aku sudah pasrah dengan segala kehendak dan jalan yang telah Dia gariskan. Tetapi sandungan berikutnya pun tak bisa dielakkan.

Operasi laparoskopi sudah selesai. Aku kembali ke ruang perawatan. Ada tiga sayatan kecil di perutku. Memang lukanya tidak terlalu sakit. Tapi tetap saja aku kesulitan bergerak. Aku lebih banyak berbaring dan duduk. Suamiku selalu menemani dan membantu. Sesekali dia keluar untuk keperluannya sendiri. Aku berusaha menikmati keadaan itu. Memikirkan hal hal baik yang Allah datangkan dengan keadaan ini.

Tapi aku masih tidak paham, mengapa dokter B tidak memberitahukan rencana tindakannya sejak awal? Mengapa beliau tidak menjelaskan prosedur di ruangan OK? Tidak ada pemberitahuan akan ada sayatan sama sekali. Mengapa tidak ada konsultasi ke penyakit dalam? Mengapa beliau tidak menyerahkan surat pengantar untuk ke IGD sekaligus dengan lembar cek darah? Padahal semestinya kedua surat itu harusnya sekaligus diberikan ke pasien. Mengapa semua seperti terburu-buru? Apakah beliau sedang bermain-main?  Main tebak-tebakan dengan pisau bedah di tangannya???

Aku ingat betul saat itu.. Setelah melamun cukup lama dan cek darah di Labor, aku kembali ke Poli G menemui Bu M. Saat itu Bu M langsung menyambut ku dengan gusar. Pada siang itu pasien telah habis. Hanya ada Bu M dan dr. B di dalam ruangan.

"Naaah ini dia, Yeyen." Ucapnya saat melihat aku membuka pintu.

"Maaf Bu, lama. Tadi di atas ramai ibu-ibu P3K cek darah juga." Aku mencoba membuat alasan.

"Iyaa.. Ibu dari tadi bingung.. bagaimana lah cara Yeyen ini mau ke IGD hari Minggu. Suratnya belum dibawa." Bu M sibuk mencari sesuatu di meja kerjanya.

Aku tersenyum tidak mengerti.

"Ini Bu, kopiannya." Ucapku sembari menyerahkan lembar fotokopian hasil USG.

"Haa iya. Pas Yeyen ke sini lagi. Tunggu sebentar," Bu M meninggalkan mejanya, berjalan teruburu-buru menuju ke balik sekat. "Tuh kaaan... dr. B..." ucapnya dari balik sekat.

Tidak ada jawaban sama sekali dari dr. B. Bu M berjalan tergesa ke meja kerjanya sembari membawa beberapa lembar kertas dan memberi pengarahan kembali.

"Ini surat pengantarnya. Nanti serahkan ini ke IGD hari Minggu. Tapi sebelumnya ambil dulu hasil Labor ke lantai dua. Nanti berikan hasil labor ke petugas IGD sekalian dengan surat ini." Aku terdiam sebentar dan mengangguk mengerti.

"Nanti mengambil hasil labornya jam berapa, Bu? Kan hari Minggu?" Tanyaku agak ragu.

"Langsung saja ke sana sore, buka dua puluh empat jam," jelas Bu M sangat ramah.

Aku membaca sekilas  tulisan di surat pengantar itu, 'laparoskopi'. Batinku langsung menolak, ini tentu prosedur yang sama dengan Bapak waktu itu. Tidak mungkin yang lain.

"Bu, endoskopi itu sebentar kan? Setelah selesai saya boleh langsung pulang?" Tanyaku ingin memastikan.

"Ya, hanya satu malam," jawab Bu M pasti. 

"Oh satu malam. Berarti Selasa Saya boleh pulang ya, Bu?"

"Rabu pulangnya. Eh, tindakannya Senin. Hmm iya Selasa sudah bisa pulang." Jawaban Bu M sangat menentramkan waktu itu. 

Maksudku, jika surat itu diberikan lebih awal, tentu aku bisa membacanya lebih teliti dan mencari informasi lebih lanjut terlebih dahulu.  Aku juga masih bisa berfikir jernih selama menyepi di laboratorium. 

Bahkan Bu M saja... Yang tentunya sudah lama bekerja satu ruangan dengan dr. B memahami rencana tindakan dr. B hanya endoskopi saja. Apalagi aku, hanya orang yang sangat awam akan kesehatan. Uniknya, dr. B tidak bersuara sama sekali. Beliau tidak mengoreksi obrolan kami sedikitpun. Beliau tampak sengaja membiarkan aku dalam kesalahpahaman.

***

Di hari kedua pasca operasi dokter B visite memberitahukan bahwa perlengketan usus 'cuma' sedikit, ada radang usus yang menginfeksi getah bening. Jaringan getah bening  yang sudah agak membesar itu diangkat dan diserahkan ke laboratorium. 

Dari pilihan diksi yang beliau pakai memanglah terkesan bermain-main. Cuma sedikit temuannya, tidak seru, tidak penting. Seolah ada makna tersirat demikian. Saking tidak pentingnya, beliau tidak visite lagi di hari ketiga. Padahal di hari itu beliau bisa visite ke pasien lain di ruangan yang sama. Aku sangat kecewa. Kemarin memang aku merasa baik-baik saja, bingung, dan syok dengan kabar yang beliau bawa. Tapi setelahnya banyak hal yang ingin aku tanyakan, banyak keluhan yang membingungkan. Ditambah lagi asmaku tiba-tiba kambuh di hari kedua. Tidak ada yang mau memberi bantuan. Aku hanya bisa menangis menahan sakit di dada. Sebab nafas yang terganggu lendir. Kata mereka para perawat, hal itu sudah biasa. Bukan hanya aku yang merasakan. Semua yang operasi juga begitu. 

Entah siapa semestinya yang patut aku mintai pertanggungjawaban. Dokter B yang serampangan? Dokter anestesi? Atau para perawat yang tidak punya empati? Mereka hanya memandangi kami, memberi suntikan, berkata sesukanya, tanpa paham apa yang tubuh  kami rasakan. 

Kekesalanku menggumpal, hampir pecah. Suamiku marah-marah ke beberapa petugas di dalam ruang perawatan. Tapi aku menahannya agar tidak berbicara terlalu jauh. Sebab bagaimanapun aku mendapatkan juga buah dari pertolongan mereka. Sakit kepalaku mulai mereda, jauh berkurang dari biasanya. Perutku juga sudah tidak perih lagi. Dan tulang-tulang kecil yang keluar masuk dari 'jalur bawah' sudah tidak terasa sama sekali. Alhamdulillah..

Aku berusaha mengingat-ingat, barangkali ada sikap dan perkataanku yang salah kemarin. Ketika dr. B tiba aku sedang mengerjakan tugas bahasa arab untuk menghibur diriku sendiri. Beliau tiba dengan wajah ramah dan penuh senyum, sama seperti kemarin sebelum aku masuk ruang OK. Hanya dua kali aku melihat wajah ramah dan senyum beliau yang seperti itu. Tidak pernah sebelumnya atau pun sesudahnya. 

Tidak seperti sebelumnya, di hari kedua itu aku membiarkan tugas bahasa arabku terbuka di atas bantal. Aku menyambut dr. B dan seorang perawat paruh baya dengan wajah datar. Aku bingung bagaimana cara menyimpan rasa malu. Sebab sebagian auratku sudah tersingkap di ruang OK. Aku sama sekali tidak ingin berjumpa lagi dengan orang-orang yang pernah ku temui di sana. Suamiku juga sedang ada keperluan keluar. Aku sendirian. Aku juga kebingungan dan syok dengan kabar yang dr. B bawa. Pada saat itu aku sempat bertanya satu hal ke beliau. Tentang foto ususku. Sebenarnya itu adalah bagian terpenting yang aku inginkan. Tapi dr. B mengatakan tidak ada foto, yang ada hanya jaringan getah bening. Itu pun sudah diserahkan ke laboratorium.

Namun lucunya, di hari berikutnya saat aku menunggu kedatangan dr. B dengan sejumlah pertanyaan dan keluhan, beliau justru tidak memeriksa, tidak bertanya, tidak menoleh sama sekali. Beliau langsung menuju ke pasien paling ujung. Menjelaskan hasil temuannya di ruang Ok, dan berkata, "Ini fotonya, Bu..." Beliau menyodorkan ponselnya ke pasien tersebut. 

Aku tergelak sendiri. Kenapa aku yang minta foto, tapi beliau justru memberikannya ke pasien lain. Sama seperti aku kemarin, pasien di ujung sana pun berwajah bingung. Bagiku saat itu, sikap dr. B tampak kekanakan. 

Tapi ya sudahlah. Aku tidak memahami otoritas orang-orang pintar di rumah sakit ini. Sejauh mana mereka berkendak dan bertindak, kami tidak berhak bersuara.

Aku bingung kenapa penyakit ini, semakin diobati semakin kemana-mana. Katanya perlengketan usus, mungkin karena Cesar berulang-ulang. Tidak apalah.. Tapi sekarang ada lagi radang usus dan getah bening. Tampaknya semakin aku berusaha sembuh, semakin ditampakkan hal-hal yang menakutkan. 

Mungkin bagi dokter B temuannya sangat receh dan tidak penting. Tapi bagiku tidak. Namun di sisi lain, jika tidak melalui proses ini tentu aku tidak akan tahu kebenaran di tubuh sendiri. Tubuh yang sejak lama kerap aku dzolimi dan abaikan kebutuhannya.

Satu pekan setelah keluar dari rumah sakit aku kembali ke Poli G. Memeriksa jahitan dan hendak menanyakan banyak hal tentang kondisi perut bagian bawah yang semakin sakit, nyeri pinggang yang semakin memburuk, dan temuan dr. B di ruang OK.

Sebelum menemui dr. B, aku antri di dekat meja kerja Bu M.

"Nah ini dia, Yeyen. Kemarin langsung operasi?" Tanya Bu M heran.

"Iya, Bu. Kalau saya tau akan dioperasi, saya ga akan mau." Bisikku ke Bu M sambil tertawa kecil.

Wajah bu M datar dan agak sedikit bingung. Kemudian ia berlalu melanjutkan pekerjaannya.

Sayangnya, nyeri tulang-tulangku semakin terasa selama duduk diam di depan poli beberapa jam tadi. Rasa kaku, nyeri dan tertusuk tusuk di pinggang dan hampir di semua tulang. Sampai ke tulang tulang tersembunyi yang malu untuk aku sebutkan. Aku tetap berusaha menyampaikannya ke dokter B. Menahan rasa malu, rasa takut, rasa kesal, rasa ingin tahu tentang perutku sendiri. Di luar dugaanku, tanggapan dr. B sangat mengesalkan. Beliau tidak membiarkan aku menyelesaikan pembicaraan. Sebentar beliau memotong, berkata bahwa aku butuh ke Poli Bedah Tulang, sebentar mengubah posisi, sebentar tersenyum sendiri, tertawa sendiri. Lalu menunjukkan wajah marah mengembalikan map rekam medis begitu saja. Aku tidak mendapat kesempatan bertanya lebih jauh. Sikap beliau lebih mirip dokter dokter tua, yang jika pasien datang mengeluh langsung diresepkan obat  tanpa penjelasan apa-apa. Padahal usia beliau masih muda. Bulan lahirnya saja sama dengan aku. Tapi sikapnya berbeda jauh dari dokter-dokter yang lainnya di sini. Kalau boleh ku getok kepalanya dengan tas, pasti sudah aku lakukan.

Memikirkan Poli Bedah Tulang kepalaku sudah berdenyut lagi. Bedah lagi? operasi lagi? Padahal aku sangat ingin bisa mendapatkan terapi di pinggangku. Seperti beberapa orang teman kajianku. Aku sempat bertemu dan mengobrol dengan mereka. Keadaan pinggang mereka jauh lebih baik setelah terapi. Umpamanya aku juga bisa begitu semoga sakit tulang-tulang ini juga bisa hilang. Mengikuti terapi dua hingga tiga bulan saja sudah cukup.

Aku bertanya kepada Ibu M, perawat senior yang bertugas di Poli G.
"Bu, Poli Bedah Tulang itu ada terapinya tidak? Apa pengobatannya juga harus operasi?"
"Oh ada ... Di Ortopedi ada terapi. Tidak selalu operasi." Jawab Bu M ramah.

Aku tersenyum lega. Berarti aku harus kembali ke Poli G pekan depan, semoga dr. B akan langsung memberi rujukan. Setelahnya aku bisa fokus terapi saja, tanpa perlu kesana lagi.

Satu pekan berlalu, rasa sakit dan kram di perutku mulai berkurang. Suamiku memberikan korset ibu melahirkan untuk menguatkan posisi perutku. Namun sakit di pinggang, bahu, kaki dan dadaku semakin kuat. Aku sangat kesulitan untuk shalat. Apalagi saat tasyahud akhir, sulit bagiku konsentrasi. Sebab rasa ngilu yang menjalar dari punggung kaki, ke lutut, sampai ke tulang pinggul. Biasanya setelah salam aku harus segera meluruskan kaki. Aku terpaksa berdzikir dan berdoa dengan posisi begitu. Si Uni kerap memperhatikan. Suatu ketika dia menertawakan aku,
"Umi sekarang shalatnya mirip Ama (neneknya)."
"Yah, mau gimana lagi Uni. Doakan Umi cepat sehat ya.." jawabku seadanya.

Aku memikirkan beberapa cara ampuh untuk mendapatkan surat rujukan itu. Aku teringat dengan kejadian di dalam ruang Poli G saat pertama kali berkunjung ke sana. Ada Seorang ibu muda berbaju kuning, kaca mata tebal datang mengantri dengan suami dan anaknya. Ia membawa map oren hasil endoskopi. Ia duduk di sebelahku saat menanti giliran.

"Sudah diperiksa, kan tidak ada apa-apa." Terdengar suara dokter B dari balik sekat ruang dokter.
"Tapi perut sakit, Pak..." sahut wanita itu.
"Ya.. kan tidak ada apa-apa, terus mau diapakan?!" Balas dokter B sengit. Suaranya terdengar menggerutu kesal.
Perempuan itu keluar dari ruang dokter B menyerahkan map rekam medisnya kepada Bu M.
"Tidak ada lembar kontrol ke kita lagi, dokter B?!" Tanya Bu M dari balik sekat.
"Tidak!!" Sahutnya tegas. Wanita itu kelihatan tidak nyaman. Ia mengobrol sebentar minta saran ke ibu M. Ibu M menyarankan supaya dia kembali ke Poli sebelumnya, Interne.
Aku iba dengan ibu muda itu. Barangkali dia butuh saran atau bantuan dari dokter B untuk kembali ke poli sebelumnya, tapi dokter B tidak memberikan penjelasan dan bantuan yang lebih berharga.

Setelah itu,  ada seorang ibu tua yang berkonsultasi di ruang dr. B
"Telinga saya berdenging," ujar ibu tua.
"Heh? Itu ke THT." Jawab dr. B heran.
"Gak tau, pokoknya telinga saya berdenging." Cetus ibu tua lagi.
"Ni M, tolong rujukan ke THT!" Perintah dr.B dari balik sekat.
Gampang sekali dokter B memberikan rujukan. Tapi nampaknya aku tidak bisa mendapatkan segampang itu.

Aku meramu rumusku sendiri untuk mendapatkan rujukan. Aku pikir dengan berpenampilan memuakkan, suara yang lebih tegas, dan mengeluh lebih banyak mungkin bisa mendapat rujukan.

Untuk penampilan aku rasa sudah. Semua pakaianku hitam. Dari atas hingga ke bawah. Hanya tasku yang Oren. Aku mematut diri di depan kaca. Lalu bertanya ke anak anak,
"Kalau Umi bercadar bagusan pakai kaca mata atau tidak?"
"Pakaaii.." sahut Si Uni dan Kakak. "Kalau Umi tidak pakai kaca mata, mata Umi seperti nenek nenek," sambung si Kakak lagi. Aku tertawa mendengarnya. Mungkin maksudnya tanpa kaca mata kerutan di mataku lebih nampak. Makanya terlihat menjadi lebih tua.

Rumus berikutnya adalah menaikkan suara. Memang selama aku berobat tanpa aku sadari suara rendah yang sering terpakai. Mungkin disebabkan aku harus selalu memikirkan soal 'rasa' di fisikku. Sulit bagiku menaikkan suara. Padahal sejatinya seorang perempuan harus menaikkan suaranya saat bicara dengan orang asing. Agar tidak timbul fitnah bagi orang orang yang punya penyakit di hatinya.

Aku menulis daftar pertanyaan, lalu berlatih bicara di depan kaca. Hingga berkali-kali. Hatiku urung. Lebih baik aku tidak bicara sama sekali, lalu minta dokternya membaca daftar pertanyaan sendiri. Bilang saja sedang sariawan, begitu pikirku. Informasi paling penting bagiku adalah temuan dokter B di ruang OK. Aku ingin mendapatkan penjelasan lebih detail tentang itu. Apakah radang ususku parah? Seberapa parahnya? Apakah ada hubungannya dengan autoimun? Aku benar-benar butuh kepastian. Agar aku bisa mengambil sikap berikutnya. Mempertimbangkan kembali pengobatanku Dengan dr Yosti.

Dengan hati yakin aku berangkat ke rumah sakit diboncengi Mamak, adik ibuku. Suamiku sudah berangkat lebih dulu. Sesampainya di rumah sakit aku membuka kacamata dan menyimpannya di dalam tas. Setelah menanti lama di depan poli, dokter masuk ke ruangan. Tidak lama setelahnya aku disuruh masuk ke ruangan dokter,
"Pak, dari hasil yang kemarin saya sakit apa?"
"Ibu kan adhessi! Suara dokter B lantang memekak telingaku. Ia membalik-balik kertas di dalam map rekam medis, mencari sesuatu.
"Kata Bapak ada getah bening, itu bagaimana?"
"Tidak berbahaya itu." Jawabnya santai, "Hasil PA nya tidak ada?"
"Apa itu?" Tanyaku tidak paham.
Dokter B tidak menjawab. Wajahnya kesal. Aku juga kesal. Sangat kesal. Tapi dia tidak bisa melihat rautku.
"Yeyen pergi ke lantai empat, minta hasil PA di sana, ya. Lupa kita mengambilnya." Bu M datang menengahi.
"Mengambilnya pakai apa, Bu?" Tanyaku ragu. Barangkali ada surat pengantar yang harus aku bawa.
"Tidak ada. Sebutkan saja namanya."
Bu M memang ramah. Jauh berbeda dengan atasannya. Segala sesuatu Allah ciptakan berpasangan. Bu M yang ramah bekerja sama dengan dokter B yang arogan bin absurd.

Aku melangkah cepat ke gedung radiologi. Naik lift ke lantai empat. Mengambil surat itu dan menyerahkan kembali ke dokter B. Aku tidak ingat lagi pembicaraan setelahnya. Seperti sebelumnya, aku tidak mendapat informasi apa-apa, tidak bisa bertanya lebih banyak. Aku hanya mendapat kesempatan menanyakan tentang susu, lemon, madu. Sisanya buyar, tidak bisa dikonsulkan. Wajah garang dr. B menciutkan nyaliku. Aku tidak bisa mengingat tulisan di daftar pertanyaan. Bahkan aku tidak berhasil mendapat rujukan. Lalu dr. B mengembalikan map rekam medis ku begitu saja.

Sejenak aku ragu beranjak dari kursi. Rasanya ingin duduk lagi, mungkin aku butuh sedikit memelas supaya dr.B mau memberikan aku surat itu. Tapi rasa Maluku lebih besar. Jika hal itu aku lakukan, pasti aku akan terlihat sangat buruk. Bagaimana kalau nanti dr. B lebih marah lagi? Lalu berkata yang tidak enak? Rasanya aku tidak siap.

Tapi aku heran, kenapa beliau kesal? Kenapa marah? Aku salah apa? Apakah aku harus di kondisi mengenaskan dulu baru beliau mau sepenuh hati membantu? Menjadi pasien sekarat masuk ruang Ok? Lalu aku selamat dan semua orang bertepuk tangan untuk dr. B? Memuja mujanya? Lalu beliau semakin populer, naik jabatan, tambah gaji, tambah tunjangan profesi? Sekalian saja  dr. B sebarkan racun ke masyarakat, supaya lebih banyak pasien sakit perut di polinya! Astaghfirullah....

Aku pulang dengan rasa jengkel yang sangat banyak. Kenapa orang lain bisa mudah mendapatkan jalan keluar dari Poli G sementara aku tidak? Sampai di rumah aku terus saja memikirkan hal itu. Kenapa sikap dokter B begitu? Kenapa beliau marah? Kenapa kesal? Kenapa tidak mau membantuku? Kenapa tidak mau menjelaskan temuannya saat operasi? Kenapa penyakitku dianggap receh? Tapi kenapa tetap diberi lembar kontrol?

Aku teringat hasil rongent tulang punggung dengan dr. Yosti. Aku mencari lembaran itu. Memeriksanya, membaca kembali catatan di sana. Di sana dituliskan hasil klinis, LBP. Aku segera mencari di google. Ya Rabb... Ternyata Low Back Pain. Saraf terjepit! Aku membaca info tentang LBP di beberapa artikel. Salah satu metode pengobatannya adalah dengan terapi! Yess.. aku menemukan cara.

Sesaat aku termangu. Ternyata ini sakit yang aku bawa-bawa. Bapak juga LBP. Bapak sudah tua. Tapi aku.... Ah sudahlah. Hal terpenting sekarang aku punya alasan logis untuk bisa minta terapi. Pekan berikutnya aku berencana kembali ke Poli G. Aku menyusun hal-hal yang ingin aku sampaikan, agar dokter B mau bermurah hati membantuku.

Keberadaanku di Poli G benar benar kelas emosi yang berat. Sedikit saja aku salah dalam bersikap dapat berakibat tidak baik di masa berikutnya. Sementara aku sangat  membutuhkan dokter spesialis. Hanya kesabaran, petunjuk dariNya sebagai penerang di gelap malam. Ketika malam semakin pekat, pasti pagi akan segera tiba. Pastilah selalu ada kebaikan yang tersimpan di balik pahitnya kenyataan yang harus dicecapi.

Solok, 2 februari 2024

20 Rajab 1445H







Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku 61 Kisah Pengantar Tidur [IMRC 2015]

Untukmu... Suamiku

Drama Korea vs Hafalan Qur'an