Buah Manis Kesyukuran


Kami bergenggaman tangan memasuki gerbang Taman Melati. Siang sangat terik. Dahan-dahan pohon yang tinggi berdiri tegak bersama bayangannya, memberikan tempat nyaman untuk berteduh.  Taman ini masih tampak seperti dulu. Saat aku mengunjunginya bersama teman teman halaqah. Di masa kami masih menjadi mahasiswi.

Suamiku terus saja memandangiku dan taman ini bergantian. Ia tersenyum lebar dan sesekali terbahak. Aku mengerti ia sedang menertawakan tingkahku. Tapi rindu ini terlalu berat untuk ku tanggung. Aku melepasnya begitu saja. Melangkah lincah bak gadis kecil,  meraih bunga bunga mungil yang putih. Aku tersenyum mekar tak henti. Hingga gigiku mulai mengering.

Memang tempat ini sangat berkesan di hatiku. taman ini adalah tempat favorit teman teman Asahy  berkumpul ketika kami halaqah. Aku masih mengingat mereka semua. Uni Ira, Rika, Icin,  Dien, Dessy, Aan, Defi, Arik, Ati, dan Ifna. Tentang Perilaku mereka, wajah mereka, guruan kami, curhatan kami, petualangan kami, dan tangisan kami. Aku  juga kerap singgah ke sini untuk sekedar duduk, menghempas lelah dari rutinitas kampus waktu itu. Tempat yang asri, tak ramai orang, teduh, sejuk, dan harga tiketnya juga tidak mahal.

         sumber:*

Serasa mimpi aku bisa menggandeng tangan suami ke tempat ini. Jauh sebelumnya aku begitu  ingin agar kami punya sedikit waktu untuk berlibur ke kota ini. Berdua saja. Atau bersama anak-anak juga. Tapi kesempatan itu tidak pernah ada. Aku menantinya dengan sabar sejak awal pernikahan hingga hampir empat belas tahun. Ketika harapanku telah pupus, menyisakan rasa pasrah menjalani kehidupan kami yang terus saja berpacu dengan waktu. Kini momen itu tiba begitu saja. Aku memperoleh jadwal berkunjung ke Kota Padang satu kali sebulan. Suami dan Ibuku, salah satu dari mereka harus menemaniku. Sebab aku butuh kontrol rutin ke Poli Reumathologi.

Sumber: *

Setelah selesai berobat, kami bisa mencuri sedikit waktu untuk jalan jalan. Menikmati momen bersama. Tanpa harus ribet membawa banyak barang bawaan. Suamiku sepakat bahwa kami juga akan berkunjung ke tempat-tempat lain yang aku sukai di kota ini. Tempat-tempat kenangan ketika semangat seorang pemudi tengah membara menemukan jati dirinya. Masyaallah la hauwla wa Laa quwwata illaa billaah.

"Sepertinya Allah memaksa kamu agar meluangkan waktu untukku.." Selorohku pada suami.

Sama halnya ketika aku menginap di rumah sakit beberapa bulan lalu. Setelahnya aku terpaksa istirahat membawa motor beberapa bulan. Aku juga meledek suami, "Sepertinya Allah memaksa kamu untuk lebih sering memboncengi aku!" Aku berteriak dari balik punggungnya kala itu. Beliau hanya tertawa lebar tanpa  satu kata pun.

Bagaikan sebuah kotak persegi, setiap masalah dalam kehidupan mempunyai banyak sisi untuk kita lihat. Setiap sisi punya makna yang berbeda. Ada yang baik dan ada yang tidak baik. Tergantung dari sisi mana kita melihatnya. Sebagai seorang muslimah aku memilih melihat kotak kehidupanku dari sisi kesyukuran. Sebab di dalam Al-Qur'an Allah sudah mengabarkan bahwa siapa yang bersyukur maka Dia akan memberi tambahan Nikmat Nya. Tapi siapa yang  kufur, dia akan mendapatkan adzab Nya yang pedih.

Aku bersyukur karena kini rasa sakit yang membingungkan aku selama ini telah menemukan nama untuk kami kenali. Rhemathoid Athritis. Masih keluarga autoimun juga. Aku bersyukur Allah menunjukkan obat yang tepat untuk aku konsumsi sehingga kehidupanku dapat menjadi lebih stabil, normal, dan tentunya dapat mengurangi jumlah poli yang biasa aku kunjungi.

Dari keadaan ini aku belajar bahwa kepasrahan kepada Azza wa Jalla adalah solusi terbaik untuk setiap persoalan. Kepasrahan yang disandarkan sejak awal, bukan saat mentok Saja. Ketika hati telah pasrah, larik larik doa semakin kuat terucap, maka pertolonganNya datang tak pernah terduga.

Aku ingat saat itu, waktu aku berkunjung ke poli G. Hatiku sudah pasrah dengan keadaan dan rasa sakit yang Allah berikan. Kemudian Allah memberikan kemudahan untuk aku mendapatkan rujukan ke poli Ortopedi dari dr. B. Terlepas dari prosesnya yang masih saja menyisakan rasa malu untuk diingat. Juga rasa tidak mengerti dengan sikap dokternya. Apapun motivasi beliau untuk semua sikapnya sejak awal hingga akhir,  biarlah menjadi urusannya dengan Allah saja. Terkadang jiwa detektifku masih saja meronta ronta, berusaha menganalisa.

Ketika hal itu aku bicarakan dengan suami, beliau berpendapat mungkin sikap tidak enak dokter B itu karena aku terlalu banyak keluhan. Sebab itu merepotkan dia. Tetapi aku membantahnya. Jika pasien tidak mengeluh, hal apa yang akan dibantu dokter? Bukankah anamnesa itu dilakukan dengan mengumpulkan keluhan pasien? Lalu diagnosa mereka tegakkan setelah melakukan pemeriksaan fisik dan penunjang.

Ketika hal itu aku obrolkan dengan seorang teman lamaku yang Bapaknya juga berobat ke Poli G. Dia berpendapat, mungkin saja dokter B ****** teeet. Jadi ambil sisi baiknya saja. Ya ya ya. Ambil sisi baiknya saja.

Ketika hal itu aku obrolkan dengan ibu. Ibuku berpendapat mungkin dokter B tidak nyaman dengan cadarku.
" Muka hitam semua, pasti dokternya risih," kata Ibu. Tapi bukankah pilihan berpakaian itu haknya semua orang?

Sebenarnya aku juga punya teori sendiri. Barangkali dr. B mengira bahwa aku seorang kenalan beliau di masa lampau. Sehingga beliau mengambil tindakan yang terburu-buru untuk bisa segera memastikan. Tapi rupanya hasilnya zonk. Sehingga keadaan beralih ke isu  SARA seperti pendapat ibu.

Aku ingat waktu itu beliau bertanya sangat detail tentang pengalaman operasi yang pernah aku lalui di M Natsir. Tahun berapa? Dokternya siapa? Mungkin aku salah ingat. Sebenarnya 2015 bukan 2005. Karena tidak ada dokter bedah perempuan pada tahun 2005. Sementara aku sangat yakin operasi Vam saat itu di tahun 2005, setelah aku ujian semester awal di tahun kedua kuliah. Aku ingat tanganku sangat gemetar menahan rasa ngilu yang menjalar dari dada hingga ke ujung ujung jari saat sedang menulis di lembar jawaban kertas ujian.

Satu lagi teoriku memang sedikit jahat. Barangkali dokter B sedang punya banyak ****** . Sehingga beliau memang menanti pasien pasien ***** untuk diambil manfaatnya. Sebab kata Om Google biaya satu kali tindakan laparoskopi lumayan tinggi. Meskipun gaji dokter spesialis sangat besar, tapi hasrat manusia akan dunia itu jauh lebih besar. Di dalam sebuah hadits Rasulullah juga pernah mengatakan, seorang manusia apabila telah diberi satu gunung emas, dia tidak akan puas. Dia akan meminta satu lembah emas lagi. Astaghfirullah pikiranku terlalu jahat.

Apapun alasannya, biarlah menjadi urusan beliau dengan Allah saja. Aku berusaha untuk menghapus ingatan dan rasa ingin tahu tentang hal itu. Bagaimanapun semua proses yang sudah terjadi adalah kehendak Allah dan ada sisi baik yang telah Dia tetapkan untukku.

Poli Keenam
Tepat pukul 11 siang. Pasien di Poli Ortopedi sudah ramai. Bu M membawaku masuk ke dalam ruang poli. Beliau menyerahkan map rekam medis ku kepada petugas di sana. Aku menanti dokter Cherry  di dalam ruangan itu bersama pasien lainnya. Aku bersyukur pada akhirnya bisa berobat dengan dokter perempuan. Nama dokter Cherry sering ku dengar saat di ruang OK. Sepertinya beliau dokter favorit ditengah ramainya pasien.
Poli Ortopedi di desain memanjang dan terbuka. Antara kursi pengunjung, meja perawat, ruang pemeriksaan dan meja dokter tidak ada sekat sama sekali. Hanya ada selembar tirai biru yang bisa ditarik membentang, membatasi ruang dokter dengan bagian ruang lainnya.

Tak lama berselang tirai biru itu dibentang. Aku dipanggil Bu M untuk segera berkonsultasi. Rupanya aku menjadi pasien pertama hari itu. Di sana duduk seorang laki laki muda berambut panjang. Pakaiannya biru khas ruang OK. Tampak sangat sederhana. Ternyata dokter Cherry itu laki laki. Bukan perempuan. Ya Rabb... Aku terkikik sendiri.

Aku mengeluhkan semua perihal tulang yang terasa ke beliau. Termasuk tanganku yang sering kesemutan meski hanya pegang piring makan. Aku juga memperlihatkan hasil rontgen dengan dr. Yosti waktu itu. Beliau memeriksanya, mendengarkan semua keluhanku dengan sabar hingga aku selesai bicara. Kemudian beliau menjelaskan dengan santun satu persatu.
"Tulang belakang Ibu tidak melengkung seperti seharusnya. Ini terlihat lurus. Kemungkinan ini yang membuat sakit. Memang sakitnya itu sampai ke kaki. Untuk saat ini kita terapi ya." Terang beliau sangat ramah. Aku mengangguk mengerti.
"Nanti bisa dibantu dengan olah raga, berenang, bersepeda, jalan kaki juga bisa."

"Iya Pak, terimakasih." Jawabku puas.

Bu M masih duduk di meja perawat membantu petugas di sana melayani pasien. Aku terharu dengan kehadiran beliau. Aku tidak tahu apakah beliau sengaja menunggui aku atau hanya sekedar mengisi waktu luang. Apapun itu. Aku sangat berterimakasih. Semoga Allah Azza wa Jalla membalasi kebaikan hati Bu M dengan balasan berlipat ganda.

Aku diberi lembar surat pengantar untuk fisioterapi di  bagian Rehabilitasi Medis. Aku segera kesana. Tempatnya berada di bagian belakang rumah sakit. Di sana aku berjumpa dengan seorang dokter perempuan, dr. Adek namanya. Suaranya halus dan tubuhnya mungil. Beliau sangat ramah.  Sama dengan dr. Cherry. Beliau memberiku lembar kontrol untuk terapi selama dua pekan, dan juga satu lembar surat untuk pengambilan korset.

Aku mengikuti terapi hingga beberapa kali. Dari enam kali jadwal yang diberikan, aku hanya bisa mengikuti tiga kali saja. Karena terpotong oleh jadwal operasi gigi dan pemulihannya. Dari tiga kali terapi itu aku selalu merasa pusing. Pada terapi ketiga rasa pusing itu sangat berlebihan. Walaupun sudah istirahat selama setengah jam di mesjid rumah sakit, aku tetap merasa pusing. Kepala terasa berat, penglihatan bergelombang. Ketika sedang berjalan ke gerbang rumah sakit aku merasa sedang terbang, lalu jatuh lagi ke tanah. Kebetulan hari itu suamiku yang menjemput. Kami singgah sebentar ke sekolah si Kakak untuk mengambil rapor semester awalnya.  Aku menunggu suami di gerbang sekolah. Aku menyenderkan kepala ke besi gerbang, berharap rasa pusing itu hilang. Tapi rasa pusingnya semakin menjadi karena terkena panas matahari dari celah celah dedauan kelapa di atas kepalaku. Aku merasa tertidur sebentar di posisi itu. Sampai seorang orang tua murid memanggilku. Ia menggandeng tanganku masuk untuk istirahat di teras sekolah dan duduk sebentar di sana. Hidung dan dadaku diberi penghangat. Ia menawarkan bantuan untuk istirahat di ruangan sekolah. Tapi aku menolaknya karena harus segera pulang. Suamiku tiba dan kami langsung pulang.

Beberapa hari setelahnya tiba jadwal membuka jahitan gusi bekas operasi. Aku menemui dr. Bul di Poli Bedah Mulut. Rupanya kedua bagian gusiku infeksi. Aku juga menyampaikan rasa nyeri di dahiku ke dr. Bul. 

"Selain masalah gigi, sinusitis juga bisa menyebabkan sakit kepala," terang beliau. "Nanti bisa Konsul ke THT. Tapi nantilah, bereskan dulu masalah giginya." Sambung beliau lagi.

Aku mengangguk mengiyakan. Aku percaya dengan setiap penjelasan dr. Bul. Dari awal beliau sangat hati-hati dalam mengambil tindakan. Jika beliau mengatakan aku harus ke THT aku akan ikut. Jika beliau mengatakan perginya nanti. Ya, aku juga akan ikut. Meskipun sebenarnya aku enggan untuk menambah kunjungan ke poli lainnya.

Sesampainya di rumah, sakit kepalaku semakin menjadi. Seperti biasanya, jika terkena serangan sakit kepala aku segera membawanya tidur. Di sore hari aku kembali terbangun mendengar riuh suara anak anakku yang tengah bermain berempat bersaudara. Kepalaku masih saja sakit dan pandanganku sedikit lebih buram. Aku segera berkaca. Rupanya ada banyak belekan di kedua mataku. Mataku bengkak dan merah. Aku berusaha membersihkannya dengan tissue setiap ada yang keluar. Tapi tetap saja banyak belekan yang keluar hingga keesokan harinya.

Kebetulan di hari berikutnya adalah jadwal kontrol kuku kakiku dengan dr. Peppy. Ketika aku memasuki ruangan dr. Peppy, beliau langsung bertanya, "Uni kenapa? Sakit?"
"Iya Bu, sakit kepala." Jawabku singkat.
Seperti biasanya setiap berkunjung ke dr. Peppy aku selalu pamer kuku kaki. Supaya dr. Peppy bisa melihat perkembangannya. Setelah selesai aku segera memasang kembali kaos kaki dan sepatu.

"Uni kenapa?" Tanya dr. Peppy dalam bahasa Minang.

"Ini Bu, dari dua hari yang lalu itu sakit kepala. Kemarin matanyanya bengkak dan merah, terus belekan juga. Tapi sekarang sudah berkurang belekannya. Hidung juga berasa ditusuk tusuk. Mata saya sakit sampai ke tulang pipi yang di bawah mata ini." Paparku panjang.

"Sujud bagaimana? Sakit tidak?"

"Sujud?" Aku berusaha mengingat, aku sibuk berdoa saat sujud. Tidak merasakan apa-apa. "Tidak Bu, tapi kalau membungkuk begini, iya." Jawabku sambil sedikit membungkuk. 

"Uni mau ke THT?"
"Iya Kata dr. Bul mau dikonsulkan, Bu.. tapi nanti setelah selesai masalah giginya dulu."
"Sekarang saja. Uni kan butuh semprotan, ini dan itu nya nanti ada di sana."
" Aduuh... Gimana kalau nanti saja, Bu? Minta obat sakit kepalanya ke Bu Peppy aja dulu.." jawabku memelas. Bukannya aku tidak percaya dengan dr. Peppy, aku hanya enggan menambah kunjungan ke Poli lain untuk hari ini. Apalagi dengan kondisi yang sedang seperti itu. Aku khawatir jika akan berurusan panjang di sana.

"Tidak bisa dari sini meresepkan obat itu Uni. Aku ini apalaah," seloroh beliau sembari tertawa kecil. "Orang apotik tidak akan mau mengeluarkan. Uni ke THT saja. Nanti kalau sudah reda sakitnya tidak usah ke sana lagi." dr. Peppy meyakinkan aku panjang lebar. Nampaknya beliau memahami kekhawatiranku.

"Tapi jadi tambah lagi Poli nya, Bu..." Ucapku getir. Aku merasa lelah.

"Tidak apa-apa, mumpung ada BPJS." Jawab beliau sembari tersenyum manis. Aku tersenyum kecil mengiyakan. Sementara Tangan dr. Peppy sibuk mengisi lembar surat rujukan internal. 

Ah, dokter Peppy... Beliau dokter yang terasa Bestie. Allahumma barik fiiha. Beliau punya empati kuat. Bakat yang sama dengan yang aku punya. Berdasarkan hasil tes bakat dengan Miss Imank tahun lalu.

Aku ingin mengakhiri kisah ini di tulisan ini. Tapi tampaknya aku masih butuh lembaran lain untuk ditulisi. Guna melepaskan semua rasa yang bercampur aduk, melegakan hati, dan mengikhlaskan semua takdir takdir-Nya yang pahit.
Demikian cara seorang muslim menjadi ridho menjalani kehidupannya. Sebab sifat ridho adalah salah satu adab manusia kepada Allah. Salah satu adab yang diridhoi-Nya. Disamping sifat yakin, sabar, taqwa, dan qana'ah. Ridho yang dimaksudkan adalah ridho terhadap pembagian Allah. Tentang apa-apa yang sudah Allah bagikan kepada hamba-hambaNya. Kemudian dia merasa cukup (qana'ah) dan tidak protes dengan pembagian Allah.

"Sungguh beruntung seorang yg diberikan hidayah (Sunnah) kemudian dia diberikan rezeki yang cukup (terpenuhi kebutuhan sehari harinya) dia merasa cukup dengan itu, dan tidak mencari yg lain." *

Aku ingin menjadi bagian dari orang yang beruntung itu. Cukuplah hanya Allah sebagai penolongku.

Ya Rabb... Aku ridho dengan semua pemberianMu...

Segala puji bagi Mu wahai Dzat yang Memiliki alam semesta ini.

Solok, 26 Februari 2024
15 Sya'ban 1445H


*Sumber gambar

 https://www.kidalnarsis.com/2018/02/museum-adityawarman-dan-intip-serba.html?m=1

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku 61 Kisah Pengantar Tidur [IMRC 2015]

Untukmu... Suamiku

Drama Korea vs Hafalan Qur'an