Memburu Kesembuhan

Kesehatan adalah  nikmat yang sangat besar pemberian dari Allah سبحانه وتعالى.
Adapun nikmat sehat lebih berharga di mata orang yang sakit. Demikian pula dengan ku. Begitu besar keinginanku untuk sembuh. Sampai sampai, ketika penyakit yang satu belum sembuh, aku membuka lembar surat kontrol baru untuk penyakit yang lainnya. Aku pikir nanti, kalau aku sembuh biar seluruh anggota tubuh sembuh semua. Jadi tidak perlu bolak balik rumah sakit lagi. Toh selama ini kesehatanku tidak begitu terperhatikan karena kesibukan mengurus keluarga kecil kami. Bila ada keluhan yang terasa, aku segera mengesampingkan saja. Menganggap itu hanya hal kecil. Nanti juga hilang. Tapi semakin bertambah usia, kondisi fisikku semakin menurun. 

Hari itu aku memutuskan pergi ke Dokter gigi di Puskesmas Karena gusi sering berdarah dan bengkak. Satu gigi bungsuku juga tidak tumbuh sempurna. Seperempat bagian tulang gigi keluar, sisanya tertutup gusi. Aku khawatir gigiku nanti menghitam dan rusak karena sulit dibersihkan. Dokter gigi menyampaikan bahwa pencabutannya tidak bisa di Puskesmas, aku pun di rujuk ke Rumah Sakit M. Natsir. Aku langsung berangkat di hari itu juga ke M. Natsir. Menanti antrian hingga siang. Sampailah aku di poli ketiga. Poli Bedah Mulut. 

Poli Ketiga
Di sana aku bertemu dengan dokter Bul. Sikap beliau ramah namun agak tak acuh. Barangkali karena keluhanku tidak banyak. Jadi dianggap tidak urgen untuk dibantu. Aku sendiri agak bingung harus mengeluhkan yang mana. Sebab dari kaki sampai kepala terasa sakit semua, entah bagian mana yang patut dikonsulkan ke beliau. Setelah memeriksa kondisi gigiku, beliau memberi surat pengantar untuk rontgen. Aku baru tahu ternyata gigi juga bisa dirontgen. Pekan berikutnya aku kembali ke poli itu lagi membawa hasil rontgenku. Ternyata keempat gigi bungsuku impaksi. Dua gigi atas terpendam. Satu di bawah tumbuh miring, dan satu lagi keluar tidak sempurna dengan posisi akar dekat ke tulang pipi. Kemudian dr. Bul menjadwalkan di awal Desember operasi pengangkatan gigi sebelah kiri bagian atas dan bawah.

Sebenarnya aku sangat takut dengan dokter gigi, kursinya yang besar, lampunya besar dan menyilaukan mata. Peralatannya mirip obeng obengan di bengkel. Waktu kecil aku rutin diajak Bapak ke dokter gigi. Aku enggan. Tapi Bapak membujukku dengan kue mekar kesukaanku. Bapak yang biasanya galak juga berubah manis seperti permen Loly. Aku manut saja ketika dijemput ke sekolah, setelah selesai diantar lagi membawa sekantong kue. Entah kenapa ketika itu aku begitu bangga bisa diantar jemput Bapak sampai ke depan pintu kelas. Masa masa itu anak anak sangat mandiri. Berangkat sendiri, pulang sendiri berjalan kaki. Tidak seperti sekarang, sebagian  anak ada yang diantar sampai pintu kelas. Kadang juga sampai ke dalam kelas. Tas nya pun dibawakan Bapak atau Ibunya. Jarang sekali ada anak anak yang berjalan kaki ke sekolah. Walaupun sekolah mereka sangat dekat.

Pengobatanku berlanjut hingga tiga bulan bersama dr. Yosti. Beberapa kali pemeriksaan darah dan urine juga sudah dilakukan. Semuanya normal, kecuali leukosit tinggi. Beliau tetap dengan keyakinannya semula.  Menyatakan bahwa aku punya autoimun. Menurut beliau, sebaiknya aku lanjut konsul di M Djamil karena dokter di sana lebih ahli, alat pemeriksaannya juga  lebih lengkap. Tetapi aku masih keras kepala. Aku tetap memilih bertahan berobat di sini. 

Sampai saat itu aku masih mengonsumsi methil dengan dosis yang sudah diturunkan. Saat itu sakit di pinggang dan bahuku masih saja hilang timbul. Sedangkan sakit kepala semakin kuat dan terus menerus. Kemudian dr. Yosti memberikan rujukan ke Poli Saraf. Setelah menunggu lama di sana, dokter saraf menyatakan bahwa sakit kepalaku adalah akibat SLE, bukan karena masalah saraf. Aku semakin bingung. Bagaimana bisa begitu? Dengan hasil Ana profile yang negatif, kenapa sakit kepala dikaitkan ke SLE? Aku pun pulang dengan hati gaduh.

Suatu hari Lara menghubungiku. Ia mengabarkan bahwa ada seorang temannya yang bisa membantu aku untuk konsultasi ke Poli G, tempat ia juga pernah USG. Lara meyakinkan aku bahwa ini jalanku untuk sembuh. Sebab kondisiku tidak ada hubungannya dengan autoimun. Sebenarnya hati enggan, tapi aku tidak enak hati menolak tawaran Lara. Ia bersikukuh dengan temuannya  sebagai terapis totok punggung. Aku memutuskan menghentikan konsumsi methil dan mengikuti saran Lara.

Poli Kelima
Beberapa hari setelah itu aku berangkat ke poli G dan berkonsultasi dengan dokter B. Setelah mendengarkan keluhanku, beliau memberikan surat pengantar untuk USG. Aku senang, harapan semakin besar untuk kesembuhan. Aku berangkat dengan angan tentang hari hari berikutnya yang akan lebih lapang, mengurus keluarga dengan tenang, belajar juga nyaman.

Ketika berada di ruang USG, dokter melakukan pemeriksaan sambil memberi penjelaskan kepadaku. Beliau menunjukkan gambar di layar bahwa tidak ada masalah apa apa di dalam rongga perutku. Aku lega. Tetapi aku merasa  sangat kesakitan ketika alat USG di putar putar di atas bekas cesar dan perut sebelah kiri. Dokter berulang ulang melakukan pemeriksaan di tempat yang sama. Beliau menegaskan bahwa tidak terdapat batu, kista, ataupun kelainan di perutku.

Aku menceritakan kepada Lara hasil pemeriksaan itu sembari terapi totok punggung. Lara menyarankan agar aku kembali ke poli G dan meminta saran ke dokter B untuk langkah selanjutnya. 

Aku kembali ke Poli G, memberikan hasil USG dan menyampaikan hal itu kepada dokter B. Aku juga menceritakan tentang tulang tulang kecil yang menggangguku beberapa tahun terakhir. Dokter B menyatakan bahwa aku tidak bisa mengonsultasikan hal itu di sana, harusnya di Obgyn. Ya Allah aku tidak akan ke Obgyn, begitu pikirku.

Dokter B minta izin memeriksa bagian perutku yang terasa sakit, didampingi oleh perawat di poli tersebut. Setelah itu beliau menyampaikan bahwa kemungkinan lainnya ada perlengketan usus. Untuk memastikannya bisa diteropong dengan alat khusus di ruang operasi. Jika memang ada, maka perlengketannya bisa dilepas saat itu juga. Selain itu kondisi rahim juga bisa terpantau, kata beliau. Namun beliau tidak menyebutkan tindakan apa yang dimaksud. 

Aku sangat terkejut dengan ucapan beliau. Tadinya aku pikir tidak akan sejauh ini. sesaat aku bingung bagaimana baiknya. Aku teringat tahun lalu Bapak juga mendapat tindakan yang sama. Endoskopi.  Aku yang mengantar Bapak ke pintu ruang operasi waktu itu. Lalu Bapak pulang membawa foto ususnya di dalam map oren. Persis yang dibawa beberapa pasien lain tadi di ruang tunggu.  Di ruang tunggu tadi aku begitu bersyukur tidak mengalami hal yang sama dengan mereka. Lalu sekarang aku harus bagaimana???

Dokter B menawarkan aku masuk ruang OK empat hari lagi. Beliau memberikan surat pengantar untuk cek darah persiapan operasi. Seolah aku sudah menyetujui saran beliau. Entah kenapa situasi di dalam ruang poli G terasa sangat menegangkan. Aku merasa tertekan dan bingung. Sulit  bagiku berfikir jernih. Tanganku mendadak dingin. Aku terkena serangan panik. 

Aku menerima surat pemeriksaan darah dari dokter B dan langsung berangkat ke ruang Labor. Pasien lain menyemangatiku. Mereka meyakinkan aku bahwa tindakan itu tidaklah sakit dan berbahaya. Kita akan diberi bius, saat terbangun semua sudah seperti semula lagi.

Di Labor aku termenung dan menangis. Mahal sekali sehat itu. Andaikan selama ini aku memperhatikan kesehatan perutku, tentu tak akan jadi serepot ini. Anggaplah tindakan endoskopi itu tidak sakit, tapi untuk ke ruang OK pasti auratku akan terbuka, anak anak harus ditinggal, bagaimana dengan suami dan ibuku nanti? Lalu anestesi yang berulang apakah akan aman untukku? Sementara sekarang tulang tulangku sering terasa remuk ketika lelah. Apakah tidak akan memperburuk kondisi tulangku? 

Aku menangis di kursi pojok Labor. Sambil istighfar aku berusaha mengingat kesalahan apa yang sudah aku buat hari ini dan kemarin. Ya Rabb.... Lagi lagi terjadi hal serupa. Ketika aku menyebut sedikit saja kesalahan suamiku kepada orang lain. Allah langsung menimpakan ujian bagiku. Aku teringat obrolanku dengan seorang Uni tadi pagi sebelum berangkat ke rumah sakit. Aku bekam di rumahnya sambil bercerita kesana kemari. Kami memang sudah kenal sejak lama. Sehingga aku berani menceritakan secuil keadaan rumah tanggaku di waktu lampau ke Uni tersebut. Entah ada rahasia apa antara suamiku dengan Allah, hal aneh seperti ini kerap terjadi.

Setengah jam setelah itu aku membulatkan hati untuk melanjutkan pengobatan di Poli G. Aku menyerahkan berkas kepada Petugas Labor mengambil sampel darah dan kembali ke Poli G untuk menyerahkan salinan hasil USG. Kemudian perawat memberikan surat untuk ke IGD di hari Ahad, di sana tertulis tindakan yang akan dilakukan adalah Laparoskopi. Aku skeptis dengan tulisan yang aku baca. Kepalaku lelah berfikir. Aku meyakinkan diriku sendiri bahwa ini adalah tindakan yang sama dengan Bapak dulu. Sehingga aku tidak terbersit mencari informasi apapun di google.

Aku pulang membawa kabar tidak menyenangkan untuk semua orang, terutama anak anakku. Tadi pagi mereka begitu bersemangat membahas rencana liburan ke rumah Oma di kampung. Mereka sudah merancang bagaimana cara kami berangkat. Siapa yang akan naik angkot, siapa yang akan boncengan dengan Abinya, hal hal apa saja yang akan mereka lakukan di sana. Mereka semua kecewa kami batal berangkat, dan semua anak terpaksa diungsikan ke rumah ibuku di hari Ahad nanti. Suamiku lebih kaget lagi, karena aku terlalu berani mengambil keputusan sendiri. Aku juga bingung kenapa bisa senekat itu. Ambisi untuk sembuh terlalu kuat, namun jalan menuju kesana justru semakin jauh.

Berkali kali aku bertanya kepada suamiku, "Apakah aku harus berhenti? Apakah tindakan ini berlebihan? Apakah dia marah?"

Tetapi beliau tetap menguatkan aku agar terus berusaha. Aku tak berhenti meminta kepada Allah agar diberi petunjuk. Andaikan pilihanku ini salah, maka berikanlah aku petunjuk agar bisa batal berangkat. 

Hari Ahad pun tiba. Abang,  kakak pertamaku mengantar ke rumah sakit. Sebab suamiku masih di toko. Sebelum berangkat ke rumah sakit kami mampir ke rumah Ibu untuk pamit dan menitipkan anak anak. 

"Kata dokternya kalau ada yang lengket nanti bisa dilepas? Berati perut kamu dibuka? Kalau begitu tambah lama lah sembuhnya?" Tanya Ibuku tiba tiba.

 Aku tetap skeptis dengan tindakan pembedahan. Aku yakin ini tindakan yang sama dengan Bapak dulu.

"Aku juga tidak paham, Bu. Tapi Bapak juga tidak ada dijahitkan, Pak? Sakit tidak perutnya, Pak?" Aku mencari pembenaran dari Bapak.

"Ya, tidak sakit. Cuma tidur di ruangan itu saja. Dingin! Mana kita ditaruh lama dulu, baru dibawa ke dalam." Setelahnya kami tidak membahas itu lagi, karena Abang mengajakku segera berangkat.

Singkat cerita aku sampai di rumah sakit senja hari. Setelah shalat Isya infus dipasang. Lutut dan pinggulku mulai terasa nyeri seperti biasanya. Kepala juga sudah terasa berat karena sebelumnya aku kurang tidur. Aku memilih berbaring sambil menunggu suamiku tiba. Tidak lama kemudian dokter anestesi datang. Beliau memperkenalkan diri, melakukan pemeriksaan, menanyakan riwayat penyakit dan menjelaskan prosedur operasi.

"Nanti Ibu disuntikkan bius total, lalu proses operasi... jahit jahit....lalu selesai." Jelas dokter itu serius.

"Dijahit?! Berarti ada pembedahan?!" Tanyaku tidak percaya.

"Tidak tahu saya! itu urusan dokter bedahnya." Balasnya singkat.

Aku tertegun kecewa. Benar kata Ibu, pasti ada pembedahan. Ah memang aku terlalu keras kepala. Rasanya aku ingin pulang. Tapi tanganku sudah ditusuki jarum infus dan kakiku terlalu lelah. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan.

Suamiku datang. Aku menceritakan kembali obrolan dengan dokter anestesi barusan. Beliau menguatkan aku untuk tetap melanjutkan ini. Mengingatkan aku untuk banyak berdzikir dan minta pertolongan Allah. 

Begitulah.. proses yang membingungkan itu pun berlanjut. Aku dinebu beberapa kali sebelum masuk ruang OK. Aku membaca beberapa artikel di google tentang prosedur operasi laparoskopi. Hatiku maju mundur tidak henti sampai pagi. 

Aku terus  meyakinkan diri sendiri, bahwa ini adalah yang terbaik. 

"Tidak apa-apa begini, sudah rencana Allah seperti ini, insyaallah ada kesembuhan di sini. Mungkin memang akan panjang waktu yang aku butuhkan untuk bisa beraktifitas normal lagi. Tapi untuk apa aku cemas? Ada Dzat Yang Maha Penolong yang akan menolong aku!"

Di pagi hari aku menelpon Ibu, mengabari tindakan yang akan aku terima. 

"Bu, ternyata memang aku akan dioperasi.."
"Iya.. Ibu juga sudah duga. Katanya usus yang lengket mau dilepas. Bagaimana mau melepasnya kalau perut kamu tidak dibuka?"
"Aku kira mirip Bapak, Bu... kan katanya diteropong" jawabku malu.
"Ya bedalah.... Bapak itu, di dalam ususnya yang bermasalah. Kamu kan luar ususnya!"

Aku tertawa kecil mendengar suara Ibu. Ibuku memang pintar dan realistis. Meskipun agak terkejut dengan keputusanku tempo hari, Ibu tetap bisa berfikir jernih. Tidak seperti aku yang terlalu larut dalam suasana.

Suara Ibu terdengar lagi dari ujung telpon.
"Sudah.. kamu jalani saja, kalau sudah begini ya mungkin ini yang terbaik. Nanti jangan dulu bawa bawa motor. Suruh suamimu carikan cara untuk antar jemput anak anak. Jangan dulu kemana mana, pergi taklimlah, ini itu. Jaga jaga badan kamu. Sudah empat kali operasi melahirkan, sekarang operasi perut lagi. Jangan nyuci, nyapu, nyetrika. Itu berat semua. Istirahat yang banyak. Nanti Ibu bantu..."

Aku tersenyum kecil mendengar petuah Ibu. Ya Rabb... Aku mencintai Ibuku... Cintai dan kasihilah dia...

"Terus aku ngapain? Semuanya tidak boleh?" Balasku lagi.

"Yang penting sehat dulu. Kamu masih hidup saja sudah syukur. Orang lain operasi berkali kali sudah tidak selamat!" Suara ibu getir. "Biar kamu istirahat sampai benar benar pulih,  nanti baru mulai aktivitas rumah lagi pelan pelan. Doakan saja Ibu sehat. Bisa bantu kamu."
Panjang lebar Ibu menceramahi aku. Sungguh aku sangat beruntung masih punya Ibu yang seperti Ibuku.

"Iyaa ... Terimakasih, Bu.. Doakan aku ya." Aku mengakhiri telpon. 

Aku juga mengabari guru mengajiku, Ummu Jawwad. Beliau memberikan nasehat dan penguatan. Aku tidak terlalu ingat ucapan beliau. Tapi aku bisa merasakan rasa syukur yang lebih banyak setelah sambungan telpon itu.
"Berarti Ummu memang harus istirahat. Tidak boleh lagi motor motoran itu. Minta bantu Abuhu untuk mengurus antar jemput."

Kemudian aku menghubungi Ni Mel hingga berkali kali. Karena ketika aku ada kesulitan,  beliau selalu jadi orang pertama yang membantu antar jemput Si Uni ke tempat belajarnya yang nun jauh di sana. Kebetulan anak Ni Mel juga belajar di tempat yang sama. Ada juga Ummu Muhammad yang terkadang memberi bantuan. Semoga Allah membalasi mereka semua dengan kebaikan yang lebih banyak.

Aku menyibukkan diriku dengan membuat tugas Bahasa Arab selama di ruang perawatan. Begitu cara paling ampuh menghibur diri sendiri. Menjelang siang Dokter B tiba visite ke ruang perawatan, memastikan bahwa aku akan dioperasi beberapa jam lagi. Aku mengiyakan sembari menyembunyikan tugas Bahasa Arab yang sedang ku kerjakan. Aku kurang nyaman saja tampak dalam kondisi belajar. 

Tiba waktunya berangkat ke ruang Ok. Sebentar hatiku kuat untuk lanjut, sebentar hatiku ciut lagi ingin melarikan diri. Aku ketakutan teringat prosedur anestesi saat melahirkan. Suntikan spinal terasa begitu sakit. Pun meninggalkan rasa sakit dan kebas yang cukup lama pasca operasi. Aku tidak tahu dibagian mana nanti suntikan bius total akan diberikan. Jantungku berpacu sangat cepat, tangan dan kakiku terasa dingin. Aku merasa ingin berulang ulang ke kamar mandi. Aku berusaha memuraja'ah hafalan Qur'an selama menunggu antrian di dalam ruangan OK yang dingin. Seringkali ingatanku terbentur, lupa dan tidak bisa menyelesaikan. Kemudian pindah ke surat lainnya. Hingga satu jam, giliranku tiba.

 Aku berpesan ke salah satu Dokter Muda wanita agar membantu memasangkan jilbabku lagi setelah semuanya selesai.
Alhamdulillah pertolongan Allah untukku. Ketika aku terbangun lagi, jilbab dan kaos kaki sudah rapi lagi.  Aku melihat jam dinding. Sudah pukul 14.00. Aku segera bertayamum dan shalat Dzuhur. Alhamdulillah untuk urusan shalat setelah  operasi aku diberi banyak kemudahan oleh Allah. Di hari pertama aku shalat dengan berbaring. Di hari kedua, ketiga aku shalat sambil duduk.

Suamiku menghabiskan jatah liburnya untuk mendampingiku selama di rumah sakit. Aku merasa seperti butiran debu tanpa suami. Semua hal dibantunya. Bahkan untuk bersuci dan mandi pun aku tidak bisa. Beliau melayaniku dengan sabar tanpa rasa jijik sama sekali. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmatnya segala kebaikan menjadi sempurna. Di balik penyakit dan rasa sakit yang Allah berikan, Dia memberikan aku pendamping yang terus menerus membuktikan rasa cintanya untukku. Ada keluarga dan teman teman yang terus membantuku dengan usaha dan doa doa mereka. Sementara ada orang lain yang ketika sakit harus tetap bertahan sendirian, tanpa pendamping dan keluarganya. Selama aku di rumah sakit aku bisa fokus dengan kesehatanku sendiri. Anak - anak aman dalam perawatan Ibu dan Bapak. Urusan antar jemput sekolah mereka dibantu Abangku. Sementara si Uni turun dari tempat belajarnya di bantu teman teman kajianku. Abang keduaku kerap menelpon dan datang menghibur ke rumah sakit. Uniku, kakak ketiga membantu dengan bantuan suplai semangat, doa doa baik, dan materi. Masyaallah... Laa hawlaa walaa quwwata illaa billaah.  Tak sepantasnya aku mengeluhkan apapun lagi. 

Dengan kondisi sakitku ini Allah membuktikan kepadaku. Bahwa segala kemudahan untuk anak anakku bisa pergi belajar ke sekolah mereka masing masing bukanlah karena usahaku yang kuat. Tapi Allah lah yang menjadikan mudah segala urusan mereka.

 Tanpa sadar aku selama ini telah jatuh dalam keangkuhan, sebab menganggap tanpa kehadiranku, kehidupan anak-anakku akan berantakan. Hingga aku sering aku berujar, "Ya Allah, aku harus sehat. Ya Allah aku tidak boleh sakit. Ya Allah siapa yang akan mengurusi anak anak kalau aku kenapa kenapa?"

Sungguh aku telah jatuh dalam kebinasaan. Seperti hal nya Qarun di masa lalu. Kini Allah mematahkan pemikiran menyimpangku dengan cara-Nya sendiri.

Dengan sakit ini Allah juga menunjukkan kasih sayangnya. Agar aku tidak terlalu memaksakan diri mengerjakan banyak hal. Hatta yang diluar kemampuanku sendiri. Dia menyuruhku beristirahat dan lebih banyak memperhatikan diri sendiri dengan cara Nya.

Sungguh sakit ini adalah anugerah Allah agar aku semakin banyak bersyukur, agar aku banyak belajar bersabar. Menyandarkan hati sepasrah pasrahnya kepada-Nya.  Agar aku semakin banyak meminta pertolongan Rabbul 'alamin. Sebab pertolongan-Nya sangatlah dekat. Lebih dekat dari urat leherku sendiri.

Laa ilaa ha illaa anta subhaanaka ini Kuntu minazhzhoolimiin 
Tiada Dzat yang berhak disembah selain Engkau, Maha Suci Engkau, Sungguh aku termasuk ke dalam golongan orang-orang dzolim.

Solok, 29 Januari 2024
17 Rajab 1445H





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku 61 Kisah Pengantar Tidur [IMRC 2015]

Untukmu... Suamiku

Drama Korea vs Hafalan Qur'an