Jalanku.. Ini yang Terbaik

Hari hariku kini bertemankan obat obatan, orang orang yang sama sekali tidak ku kenal, para perawat, para dokter dan bangunan rumah sakit yang kaku. Semula aku merasa sangat tertekan dengan prosedur yang panjang, diagnosa yang dokter katakan, lalu  ritual minum obat yang semakin lama semakin banyak jumlahnya. Lantas aku tak menyerah, tetap menerima situasi ini dengan tenang, dan tak banyak mengeluh. Orang orang mengira aku masih baik baik saja. Tak ada yang salah dengan itu, sebab aku tak suka menjadi tampak lemah dan tak bisa apa apa.

Semua berawal dari awal tahun lalu, saat tubuhku mulai mengirim sinyal lelah yang berkepanjangan, sakit kepala, rambutku makin rontok, dan pada suatu pagi saat bangun tidur kakiku sakit ketika turun dari ranjang. Beberapa jari tangan terasa kaku selama beberapa menit.

Aku tak mempedulikan apapun tentang tubuhku, sebab rutinitas pagiku melayani keperluan suami dan empat anakku sangat menyita perhatian. Membangunkan mereka berkali kali, membantu mereka beberes untuk ke sekolah. Lanjut lagi menyiapkan sarapan untuk suami dan anak anak. Sesekali juga aku bantu suami mengantarkan anak anak yang tercecer sebab beliau juga harus berangkat pagi ke tempat kerjanya. 

Setelah semua berangkat aku memasak untuk makan siang dan malam.  Biasanya si bungsu akan terbangun mencium aroma masakanku dan bunyi berisik di dapur. Lanjut lagi beberes , mencuci. Belum selesai itu semua matahari sudah tinggi. Itu pertanda sebentar lagi adzan Dzuhur dan satu persatu anak anak harus dijemput. Mereka bertiga sekolah di tempat yang berbeda. 

Dari selepas Dzuhur sampai pukul 2.30 itu waktu untuk menjemput anak anak. Sesekali si bungsu kubawa serta, seringnya dia kutitip di neneknya.  Lanjut lagi belanja harian di warung dekat sekolah Si Sulung, Uda. Sampai rumah biasanya pukul 3.00 lebih. Kalau si Uda ada jadwal latihan, maka aku lanjut lagi mengantar dia ke perguruan setelah duduk bercengkrama dengan anak anak sebentar. Setelah selesai barulah si bungsu ku jemput. Biasanya di sore hari aku mengambil jeda setelah shalat Ashar untuk istirahat sebentar, tiduran atau duduk sambil pegang ponsel. Terkadang sekedar baca baca pesan, baca artikel, atau menghidupkan murottal. 
Pukul 6.00 aku menghalau anak anak untuk  masuk rumah, bersih bersih badan, dan mempersiapkan kebutuhan sekolah mereka  esok hari. 

Seringkali aku menyambung pekerjaan yang tercecer di siang hari hingga di atas pukul 9.00 malam. Entah urusan dapur, cucian, setrikaan , ataupun untuk jualan. Oiya aku lupa. Satu lagi kegiatanku adalah bikin jualan di saat agak senggang..

Setelah isya biasanya anak anak heboh minta hak mereka, untuk ditemani ngobrol, bercanda, memberi pelukan, menemani belajar, terkadang aku juga ketiduran di kamar mereka. Saat tengah malam aku terbangun, biasanya aku mencari suami yang ketiduran juga di kamar anak laki laki. Lantas kami kembali ke kamar atau lanjut lagi pekerjaan rumah jika ada yang belum kelar untuk besok. Di pagi hari aku kembali mengerjakan rutinitas seperti biasa. 

Aku betul betul mencuri curi waktu untuk beribadah, yang wajib. Apalagi yang Sunnah. Yaa Rabb, sampai di titik ini aku menyadari betapa aku sangat dzolim dengan diriku sendiri.

Ketika Perjuangan itu Bermula
Di bulan keenam setelah sinyal awal itu tiba, suatu pagi aku turun dari tempat tidur kakiku semakin tebal dan sakit hingga aku tertatih tatih untuk bersuci ke kamar mandi. Sakit kepala dan rasa lelah yang ekstrim juga mulai mengganggu. Sensasi kaku di jari jariku juga tak kunjung hilang hingga malam hari. Setiap hari aku merasa meriang, rasa mau demam. Tapi suhu tubuhku biasa biasa saja.

Di periode ini aku mulai tak kuat. Beberapa kali saat membawa anak anak pulang ke rumah kami hampir tertabrak kendaraan lain. Pernah juga aku yang hampir menabrak. Dan suatu ketika, kami nyaris saja masuk lobang saluran air. La illaa ha illallaah... Hanya kuasa Allah yang menyelamatkan kami. 

Penyebabnya biasanya karena aku menahan rasa kantuk dan lelah. Setelah Maghrib biasanya aku juga merasakan kepalaku semakin berat dan rasa lelah yang tak bisa ditahan. Aku mulai sering ketiduran di awal malam.

Aku memberitahukan suamiku perihal keadaanku lebih detail. Aku minta izin kepadanya untuk berobat ke Puskesmas Karena rasa ngilu di jari jariku benar benar menggangguku, sedangkan rasa rasa yang lainnya kami mengira itu sebab aku kurang istirahat saja.

Besok harinya aku menemui Dokter umum di Puskesmas, beliau langsung mendiagnosa aku terkena penyakit Rhemathoid Athritis. Beliau memberi obat untuk sementara dan menyuruhku kembali lagi dua hari lagi untuk mengambil surat rujukan.

 Dari sana mulailah perjalanan panjangku di RS. M Natsir. Tempat yang dahulunya sangat akrab denganku, banyak kenangan antara aku dan Bapak di sana. Karena aku sering diajak Bapak bekerja.

Aku dirujuk ke Poli Penyakit Dalam. Aku menemui  dokter yang sangat ramah. Ibu Bapakku sering menyebut dan memuji nama beliau di rumah karena Bapakku juga pernah beberapa kali berobat ke beliau. Namanya Dokter Yosti. Beliau mendiagnosa aku suspek SLE. Beliau memberi aku obat dan menyarankan agar aku memeriksakan diri ke M. Djamil Padang, di poli Reumathologi. Untuk memastikan dan mendapatkan pengobatan. Dengan berat hati aku mengikuti saran beliau, asalkan bisa segera sembuh, biarlah... 

Bagiku kini, kota Padang itu sangatlah jauh, meskipun dahulu aku sangat menyukai dan tak mau beranjak darinya. Pergi ke Padang artinya aku harus meninggalkan anak anak dan semua urusan mereka. Tentunya akan berat bagi suamiku mengurus mereka sendiri. Untungnya ada Abang dan Bapakku yang bersedia membantu kami. Mereka berbagi tugas, mengasuh si bungsu, antar jemput kakak kakaknya, dan menjaga keempat anakku hingga aku pulang.

Aku teringat, di saat itu pesanan mie sehat dan bumbunya sedang banyak yang masuk. Dengan berat hati aku mengirim pesan permintaan maaf kepada mereka semua. Aku yakin rezekiku tak akan pernah tertukar dengan siapapun. Aku memutuskan menutup usahaku untuk sementara waktu. Barangkali hingga bulan Oktober atau Desember.

Aku berangkat ke Padang bersama ibuku Karena suamiku belum dapat jatah untuk libur. Di sana aku konsultasi dengan dokter A. Beliau memintaku untuk melakukan ANA tes dan kembali lagi sepekan kemudian. Tiga hari setelah tes ANA aku menerima hasil Labor di aplikasi rumah sakit. Alhamdulillah semua  hasilnya negatif, namun ada sedikit masalah di jumlah sel darah putihku. Sehingga di sana dibunyikan hasil darahku leukositosis.

Sepekan kemudian aku kembali berkonsultasi dengan dokter A, kali ini suamiku yang menemani. Beliau menjelaskan hasil tes darahku dan menanyakan keluhanku saat itu. Beliau tak terlalu menanggapi apa yang aku sampaikan. Barangkali dia mengira aku mengada ngada dan membesar besarkan keluhan. Yang benar saja, untuk perjalanan sejauh itu, banyak waktu yang aku habiskan, dari selepas subuh hingga menjelang Maghrib aku baru sampai di rumah lagi. Belum lagi biayanya. walaupun ada BPJS, tak seluruh biaya ditanggungkan BPJS. Apa manfaatnya aku membual?? Lebih baik aku di rumah bersama anak anakku. Melawak di depan mereka akan lebih bermanfaat.

 Kemudian beliau hendak memeriksa kondisi kepalaku, memastikan ada kebotakan atau tidak. Aku merasa keberatan. Di ruangan itu sangat ramai dokter dokter newbi laki laki. Aku memandangi sekeliling ruangan. Tak adakah tempat untuk sembunyi? Mungkin pemeriksaan dengan petugas perempuan saja. Tapi beliau menegaskan pemeriksaan cukup di tempat duduk pasien saja. Dengan kalimat yang cukup mengintimidasi beliau menyampaikan hal tersebut. Dengan berat hati dan bercampur rasa sakit hati aku mengikuti instruksi beliau. Dilanjutkan dengan pemeriksaan di jari jari tanganku. Andaikan punya tenaga setruman tentu aku akan menyetrum tangannya.

Terakhir,  beliau mengeliminasi banyak obat obatan dari dr. Yosti, salah satunya methil dan memberi resep suplemen. Beliau mendiagnosa aku terkena trigger finger dan palindromic Athritis. 

Bukannya aku merasa sok suci atau bagaimana. Aku sedang berusaha patuh akan perintah Rabb-Ku. Bukankah Allah telah menjanjikan keutamaan untuk wanita wanita yang pandai menjaga aurat mereka? Menjanjikan siksa yang pedih bagi mereka yang suka mengumbarnya. Salah satu peganganku adalah hadits ini.

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata,

نِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مَائِلَاتٌ مُمِيلَاتٌ لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَرِيحُهَا يُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ خَمْسِ مِائَةِ عَامٍ

Wanita-wanita yang berpakaian tetapi telanjang, yang berjalan berlenggak-lenggok guna membuat manusia memandangnya, mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan mendapati aromanya. Padahal aroma Surga bisa dicium dari jarak 500 tahun.” (HR. Malik dalam al-Muwaththa’ riwayat Yahya Al Laits, no. 1624)

Berpakaian tapi telanjang itu, sama hakikatnya dengan wanita yang pakai baju, tapi ketat, menerawang, dan seumpama itu.

Aku pulang dengan membawa rasa kesal yang sangat banyak, hingga dua hari setelah itu aku batuk parah dan sesak nafas, tidak bisa tidur berbaring. Aku beristirahat malam tetap di posisi duduk. Terbatuk batuk sepanjang malam hingga perutku sakit. Aku mendiskusikan keadaanku dengan suami dan ibuku. Mereka menyarankan aku kembali ke dr. Yosti dan melanjutkan pengobatan di Solok saja. Aku mengikuti saran mereka. Beberapa hari setelah itu aku kembali ke dr. Yosti dan menyampaikan perkembangan keadaanku. Dengan sedikit memelas aku minta izin untuk tidak kembali ke M. Djamil lagi. Lagi pula obat obatan dr. Yosti aku rasakan lebih bermanfaat mengurangi banyak keluhanku.

Dokter yang baik hati itu pun memberikan izin. Beliau juga menyarankan aku memeriksa kondisi paru di radiologi. Sepekan kemudian hasilnya keluar dan qadarullah aku positif bronkitis. 
Agak sedikit kaget rasanya. Tapi keluargaku memang beberapa juga mengalami hal yang sama. Disaat itu aku mulai berpikir bahwa ada baiknya aku memeriksakan seluruh keadaanku agar nanti aku bisa benar benar pulih dan segar bugar lagi. Lantas aku menyampaikan kondisi kuku jempol kakiku yang sangat rapuh, sering bengkak dan mengeluarkan nanah. Awalnya beliau memberiku antibiotik. Di pekan berikutnya aku dirujuk ke Poli Kulit.

Aku teringat tiga tahun lalu aku pernah ke poli kulit untuk berobat gatal gatal, alergi sabun parah di tanganku. Waktu itu aku hanya bertahan dua kali kunjungan saja. Dengan kondisi yang belum pulih aku enggan untuk konsultasi lagi. Hal tersebut karena dokternya rada aneh dan suka marah marah. Hampir semua pasien dibentaknya. Suaranya terdengar hingga ke ruang tunggu. Aku pun mendapat jatah yang sama.

Aku tak nyaman dengan suara bentakan dan sikap keras. Biasanya nyaliku langsung ciut,  jantung berdebar-debar, dan sensasi freeze mode sulit dielakkan. Urusan perasaan membuatku cukup baperan. Namun untuk urusan pikiran aku bisa adu argumen dan bersuara lantang.
 Sementara, urusan konsultasi dengan dokter yang ditanya melulu soal perasaan. "Apa yang terasa? Bagaimana kondisinya sekarang? Apa keluhannya?" Pertanyaan perawat dan dokter berputar di situ saja.

Poli Kedua
Ternyata dokter yang kutemui di Poli Kulit jauh berbeda dengan dokter sebelumnya. Syukurlah, dokternya sudah ganti. Pikirku. Namanya dr. Peppy. Sikapnya sangat ramah dan tutur katanya juga santun. Apalagi aksen Minangnya totok. Aku tidak berasa di rumah sakit, tapi berasa di tongkrongan saja. Hal itu sangat melegakan dan menambah semangat agar cepat pulih lagi. Tapi sayangnya pengobatan kuku tidak bisa sebentar. Aku harus bersabar hingga berbulan bulan. Dan kini sudah di bulan ke tujuh. Baru satu kuku yang bersih dan tumbuh bagus. Satunya lagi masih berjamur. Diagnosa dari dr. Peppy adalah Paronikia Kandida. 

Setiap ada diagnosa dan obat obatan dari dokter, aku langsung bertanya ke Om Google. Dari awal ke Puskesmas sampai sekarang. Tak satu catatan dan tulisan pun yang aku lewatkan. Penting bagiku untuk memahami tentang penyakitku, penyebab dan solusinya. Dengan harapan hal itu bisa membantu aku memahami kondisi diri sendiri dan mempercepat kesembuhan. Meskipun belum ada hilal yang tampak, semangat tak boleh pudar. 

Seringkali anak anak bertutur tak mau punya ibu tiri😁. Pikiran mereka terlalu jauh. Barangkali karena sering aku tinggal untuk pergi berobat. Beberapa kali juga mereka harus menginap di rumah nenek karena aku menginap di rumah sakit. Abi mereka juga tidak ada, karena beliau menemaniku. Mereka seperti yatim piatu.

Aku selalu katakan, "Kalau tidak mau punya ibu tiri lebih baik banyak bersyukur sama Allah masih punya Umi sekarang. Caranya patuh dengan nasehat Umi, sayang sama Umi, jangan buat Umi sedih. Karena Allah sudah katakan dalam Al Qur'an bahwa ia akan menambah nikmat orang yang pandai bersyukur, dan mengazab keras orang yang kufur.

"Aaah Umiii, selalu bilang begitu!" 
Dan kami akan tertawa bersama. Tertawa bersama anak anak dan banyak beryukur dengan keadaanku saat ini memang jalan ninja untuk kembali calm down. Mampu mengembalikan pikiranku ke jalan yang benar. Di luar sana masih banyak orang yang penyakitnya lebih parah dariku. Namun mereka tetap bertahan dan terus berjuang.

Wahai Pemilik langit dan Bumi... 
Wahai Dzat yang Maha Penyembuh, hilangkan lah rasa sakit ini tanpa meninggalkan penyakit yang lainnya ...
Aamiin

Solok, 16 Januari 2024





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku 61 Kisah Pengantar Tidur [IMRC 2015]

Untukmu... Suamiku

Drama Korea vs Hafalan Qur'an