Langsung ke konten utama

Kami Mencintaimu, Tanpa Syarat

Kamu... pada Akhirnya pergi bersama mereka.

Kamu ... Andaikan perkataan ibu kita umpama tunas tumbuhan. Maka perkataan itu telah tumbuh menjadi batang yang tinggi menjulang, telah berbunga dan berbuah yang banyak.

Namun, kamu tetap enggan memetiknya. 
Memang telah sekeras itu hatimu. Memang telah beku fikiranmu. Tapi ..  apapun kamu. Kami tetap mencintaimu.

Kamu.. orang yang paling garang membelaku. Orang yang paling keras menjagaku.

Kamu... Teramat mengasihi anak-anakku.

Aku.. beruntung memiliki kamu. Aku sangat mencintaimu.

Aku tidak pernah mampu melawanmu. Meskipun terkadang hatiku terluka. amarah membakar jantungku. Aku tetap berusaha tidak bersikap buruk padamu.

Aku pernah begitu membencimu karena suatu hal. Akupun pernah menyumpahimu karena hal itu. Tapi pada akhirnya aku membayar kafarat sumpahku. Sebab aku tak mampu melepasmu. Bagaimana pun pertalian darah kita tidak akan pernah bisa terputus. Dan aku menyadari, aku mencintaimu bagaimanapun kamu adanya.

 Hanya larik larik doa yang dapat aku ucapkan, agar Rabbul alamin memberimu hidayah, Taufiq, dan kelembutan hati. Agar kamu segera kembali ke jalan-Nya. Meninggal kan semua teman -teman yang buruk, yang tak henti hentinya membawamu terjatuh ke jurang yg lebih dalam.

Aku tak pernah berani berucap lebih jauh. Karena aku sadar, aku tetaplah adik kecil di matamu. Menjamu setiap kedatanganmu dengan obrolan hangat perekat kasih sayang. Menjadi pendengar setia untuk semua keluh kesahmu. 

Aku begitu bahagia ketika kamu telah kembali sering bertandang ke rumah tua milik ibu dan bapak kita. Anak-anakku pun demikian. Kami menyediakan tempat khusus untuk pakaianmu. Karena kami berharap kamu akan terus seperti itu. Tetap dekat dengan kami. 

Aku teringat ceritamu tentang kejutan indah untuk ibu dan bapak
" Kita nabung berempat. Ibu jangan tahu. Nanti kalau sudah cukup, baru beritahu ibu dan bapak mereka kita umrahkan." 

Manis sekali rencana itu terdengar di telingaku. 

Tapi...bujuk rayu teman-temanmu terlalu kuat. Hingga pada akhirnya untuk saat ini. Kamu tidak akan datang lagi untuk mengunjungi aku dan para keponakanmu. Tidak ada lagi ketukanmu di tengah malam untuk mencari nasi dan secangkir kopi pahit. Tidak ada lagi yang akan patroli tengah malam menjaga gubuk kami dan kebun kecil Bapak.

Kamu... Ah ..  kenapa kamu begitu?? 

Bagaimana pun kamu. Kami tetap mencintaimu tanpa syarat.

Solok, 3 Juni 2024

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aim Senang Bersedekah

*Fiksi Hari ini ibu demam. Tubuhnya panas tapi menggigil kedinginan. Di luar mulai terang. Titi dan Titan menggaruk-garuk dinding rumahnya. Begitu cara mereka memanggil tuannya.  "Ata.. " Panggil ibu lemas.  "Ya Bu!" Sahut Ata setengah berteriak. Tangannya masih sibuk mengaduk kasar nasi goreng di atas api kompor. Ata memang belum mahir memasak. Tapi untuk keadaan darurat masakannya tetap ditunggu adik-adik.  Ata mematikan api kompor dan berlari ke kamar ibu.  "Ta, itu Titi sama Titan mungkin sudah lapar." "Ya Bu, biar Ata minta bantu Maira dan Aim. Nasi gorengnya belum selesai." Setelah melihat anggukan ibu, Ata segera memanggil Maira dan Aim.  "Ata, tunggu sebentar." Ucap ibu, ia berusaha bangun dan mengambil sesuatu dari bawah bantal. "Nanti setelah memasak, tolong antar amplop ini ke Pak Firdaus di mushala." Ata mengangguk mengerti. Setiap hari Jum'at memang ibu biasa menitipkan banyak amplop untuk anak yatim ke Pak Fi...

Suatu Malam Bersama Cu Wit

Beliau adalah tantenya suami saya. Adik perempuan mendiang ayah mertua yang paling kecil. Makanya ada embel-embel Uncu di depan nama beliau. Awal kami menikah, saya pernah jumpa Cu Wit beberapa kali. Interaksi kami hanya sekedarnya. Karena saya masih canggung menjadi menantu baru. Keluarga suami saya sangat banyak. Membuat saya sering bingung dan sulit mengingat nama nama dan wajah semua keluarga. Tapi ada satu hal yang khas di tengah kesulitan itu. Wajah mereka mirip-mirip, yang lelaki tampan-tampan dan yang perempuan cantik-cantik. Umumnya kehidupan mereka juga mapan dan berkecukupan. Saya gadis kampung yang pemalu, hanya bisa tersenyum saat berjumpa mereka. Tidak ada banyak kata yang bisa terucap. Sebab saya juga bingung, topik apa yang enak untuk dibahas. Suatu saat Fathan, anak pertama kami sakit. Waktu itu dia masih bayi, usia 11 bulan. Fathan demam tinggi, batuk dan sesak nafas. Semula kami bawa Fathan ke M. Natsir dan rawat inap di sana selama 3 hari. Tapi belum ada angsur...

Duhai Tuan

Duhai Tuan yang Budiman  Barangkali anda bisa lupa dengan saya Atau sekedar pura pura  Tapi saya tidak akan pernah lupa  Akan Tata Krama dan perilaku anda Duhai Tuan,  Saya lebih Sudi berpulang kepada-Nya Dari pada menyingkap tabir saya  Atas anda Bukan karena saya benci Maaf telah saya beri Tetapi bekas perihnya tak akan pergi  Solok, 3 September 2024 Catatan Ternyata masih ada dokter yang rasis saat ini. Ketika pasien terlihat wajah dia sangat ramah. Ketika pasien  tertutup wajahnya dia kembali ke setelan pabrik. Sangat pelit ilmu dan arogan. Padahal orangnya sama (pasien). Tapi diskriminasi tetap berlaku. Kesembuhan datangnya dari Allah. Bukan dari manusia. Tak satu jalan ke Roma. Tak satu pula orang pintar di negeri ini. Terimakasih untuk pelajaran berharga ini. Alhamdulillah saya berhasil melampauinya❤️🖋️