Catatan 14 tahun Pernikahan (Part 2)


Suami... Terimakasih untukmu semuanya... 

Selama hampir 14 tahun kamu berusaha membuktikan hubungan kita pantas untuk dipertahankan.

Setelah badai besar itu, 2 tahun terakhir ini kita telah mampu memulai kisah baru yang jauh lebih baik. Biidznillaah.. 

Terima kasih dan salam takzim untuk Cuwit dan Pak Muh yang telah menyatukan kami kembali. Cuwit terasa seperti ibuku sendiri. Saking bapernya, aku merasa beliau lebih menyayangi aku melebihi kamu- keponakannya sendiri.

Pak Muh pun demikian, beliau sosok pengganti almarhum Papamu yang sangat perhatian, pengertian dan penuh belas kasih. Beliau sangat peduli kepada aku dan anak-anak kita. Persis Almarhum Papa. Sedikit saja nafasku sesak saat menghidupkan api kompor di lantai dapur. Satu pekan setelahnya Papa datang membawa meja kompor gas buatan tangannya sendiri. 

"Pakai meja saja, kamu sedang hamil. Susah memasak di lantai." Kata Papa waktu itu. Masyaallah... Semoga Allah lapangkan kubur beliau. Bahagiakan beliau di alam barzakh.

Pak Muh juga tidak pernah bosan membimbing dan menasihati kamu terus menerus. Beliau layak mendapatkan baktimu. Aku bisa merasakan kasih sayang beliau yang sangat besar kepadamu. Barangkali kamu dapat mengobati kerinduan Pak Muh kepada Almarhum Papa.

Suami... Maafkan aku untuk 12 tahun yang berat ini.  Perasaanku yang turun naik. Keadaan kita juga sangat sulit secara ekonomi dan relasi. Aku tahu bagaimana beratnya kamu berjuang menghidupi kami. Aku percaya kini Kamu juga telah mengerti bagaimana beratnya aku berjuang bersama anak-anak di saat kamu tidak membersamai kami. 

Kita sama-sama banyak berkorban untuk perjalanan sejauh ini. Kamu mengorbankan banyak waktu untuk mencari nafkah, menahan banyak lelah, kurang istirahat dan waktu tidur. Ketika aku tidak mampu menyelesaikan tugas tugasku hingga malam hari, terkadang kamu membantu tanpa diminta. Menyelesaikan cucian pakaian  dan piring-piring kotor di dapur. Ketika pagi tiba kamu harus kembali bersiap bekerja di toko dan mengantar anak anak kita sekolah. Terkadang  kamu juga harus terjaga di malam hari untuk menggendong anak-anak ke kamar mandi agar mereka tidak mengompol. Aku mengerti semua itu tidak mudah. Kebanyakan lelaki gengsi melakukan itu.

Dahulu kamu sering berucap padaku, "Jangan sampai keluargaku tahu aku seperti ini,"
Padahal yang kamu lakukan sangat baik. Semestinya keluargamu bangga memiliki putra yang bertanggung jawab dan peduli kepada istrinya.

Aku pun demikian. Aku mengorbankan semua yang kumiliki. Waktu, Perasaan, karir, materi, hingga fisikku menjadi tidak terurus. Aku mulai sering sakit sejak tahun ke-7 pernikahan.  Memasuki tahun ke-14 pernikahan kita, aku mulai rutin minum obat-obatan kimia dan kontrol ke rumah sakit. Qadarullah wa masyaa fa'al.

Suami... Jika bagi laki-laki rasa cinta adalah motor penggerak yang dahsyat, maka hal itu pun berlaku sama bagi seorang perempuan.  Bagi perempuan rasa cinta adalah sumber kekuatan yang sangat besar untuk melakukan banyak hal.  Sebab dengan rasa cinta seorang perempuan mampu menahan sakitnya melahirkan. Dengan rasa cinta seorang ibu mampu menahan kantuk dan lelah menjaga bayi di malam hari.

Suami... Aku dapat merasakan dan melihat rasa cinta yang besar itu dari dirimu. Tapi sayangnya rasa itu tidak aku miliki. Bagaimanapun aku berjuang.

Selama 12 tahun aku mendampingimu tanpa rasa cinta. Barangkali pernah satu atau dua kali cinta itu tumbuh tapi ia kembali layu dan mati sebab ketidakcocokan karakter kita. Kamu bertahan dengan prinsip hidupmu. Aku pun begitu. Kita dibesarkan di lingkungan keluarga yang sangat berbeda, karakter orang tua yang berbeda dan pola asuh yang juga berbeda. Wajar jika kita tumbuh dengan menganut nilai-nilai kehidupan yang berbeda.

Tapi aku pernah berhasil menumbuhkan rasa itu hingga ia bersemi sesaat pada tahun ke-6 pernikahan kita. Pada masa itu hatiku sangat berbunga-bunga dan penuh rasa syukur. Hingga aku mengungkapkannya dalam satu buah puisi cinta untukmu. Aku membagikannya di laman media sosial. Mendadak laman media sosialku banjir komentar teman-teman lama.

Tak berselang lama setelah itu, hatiku pun kembali terluka dan perih bersangatan. Hal yang paling aku khawatirkan saat membuka hati kepada seseorang. Sejak saat itu hatiku kembali mengeras seperti batu. Hingga aku sampai di fase kebencian. Membenci suamiku sendiri. Aku begitu membencimu, tapi aku tetap bertahan di sampingmu demi anak-anak kita.

Suami... Maafkan aku.. sebab perasaanku yang terlalu sensitif. Semoga Allah membalasi semua kebaikan, lelah, dan perjuanganmu dengan balasan yang berlipat ganda. Apabila syariat tidak melarang, tentu aku sudah mencium kakimu.

Berkali-kali kamu meyakinkan aku bahwa apabila wajahmu tegang dan kaku, itu bukan karena kemarahan kamu padaku. Hal itu pertanda kamu sedang lelah saja. Tapi aku seringkali terbawa perasaan dan berfikir terlalu jauh.

Pada situasi hatiku yang patah, terkadang aku berdoa, "Ya Allah... Aku tidak mau menjadi istrinya. Ya Allah..  ini terlalu berat untukku. Ya  Allah ... Aku tidak mau bersamanya di dunia ataupun di akhirat."

Suami... Aku mencintaimu karena Allah.. semoga rasa ini terjaga hingga akhir... Aku tidak ingin melihat kamu terus menerus dalam kesusahan sebab keadaanku saat ini. Semoga Allah senantiasa menjagamu, membimbingmu, dilimpahkan kebahagiaan, kemudahan, dan kamu senantiasa dalam keselamatan di dunia dan akhirat.

Suami ... Terimakasih untuk semuanya...

Suami.. beberapa tahun lalu pernah viral di dunia maya kisah suami istri yang menikah 10 tahun tanpa rasa cinta. Tentang seorang suami yang penuh kasih dan tanggung jawab. Sedangkan istrinya tidak peduli sama sekali. Mereka punya dua orang anak kembar.  Si istri sibuk memanjakan diri keluar rumah kesana kemari. Si suami tidak terurus hingga jatuh sakit dan meninggal dunia.

Kisah itu dibagikan berkali kali di media sosial dan sangat ramai komentar netizen. Ada yang percaya, ada sebagian yang mengatakan itu hanya kisah fiksi. Sebab tidak mungkin ada pasangan yang mampu bertahan selama itu, dengan situasi seperti itu. 

Aku pun tidak tahu pasti apakah itu kisah asli atau fiksi. Tapi bagaimanapun, relasi suami istri seperti itu pernah kita lalui. Selama 12 tahun. Tentu saja sangat berbeda keadaan kita dengan mereka di cerita itu. Meskipun tidak ada rasa cinta dihatiku, aku selalu berusaha melayanimu, menghormatimu, mendampingimu, menutupi aib mu, menjaga dan mendidik anak-anakmu sebaik yang aku mampu. Tentunya sangat jauh dari sempurna. Tapi kamu selalu memberi maaf yang banyak untuk semua kekuranganku. Sayangnya, hal ini berdampak tidak baik untuk mental dan fisikku. 

Demi Allah... Tidak ada yang sia-sia. Di sepanjang perjalananku yang berat dan melelahkan. Aku menemukan banyak curahan kasih sayang Allah Ar-Rahman, pertolongan dari arah yang tidak pernah disangka, pertemuan dan pembelajaran dari orang-orang baik yang dikirimNya.

Kini aku menyadari memang kamu lah jodoh terbaik dari Allah. Aku tidak pernah meragukannya lagi sejak kita selamat dari badai besar itu. Jika tidak bersamamu belum tentu aku dapat sampai di fase ini. Mengenal Sunnah adalah rejeki yang sangat besar bagiku. Memang kakiku masih tertatih dan kita masih sama-sama belajar. Tapi aku yakin ini adalah jalan selamat untuk kita dan anak-anak. Aku juga nyaman dengan keadaan kita saat ini. Semoga kita istiqamah hingga tutup usia.

Suami... Izinkan aku membagi sepenggal kisah kita di sini. Melanjutkan tulisanku sebelumnya. Mari kita bernostalgia sejenak. Semoga hubungan kita semakin kuat. Hingga akhir.
***
[Bersambung Part 3]
Solok, 13 April 2024
4 Syawal 1445H

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kepada Bapak Dokter yang Terhormat

Untukmu... Suamiku

Belajar dari Para Dokter