Yaa Humaira

Hari ini aku menemukan kembali binar di matamu Nak... binar yang sempat meredup beberapa hari lalu. Ketika ibumu disibukkan oleh sebuah....
Ponsel.


Alangkah meruginya  saya kala itu. Ketika itu tanpa terasa saya sudah terjebak dengan arus per-medsosan yang sangat kuat. Bagaimana tidak,  topik yang selalu hangat tersedia. Hal hal yang sesuai minat bertaburan. Teman-teman dari berbagai ‘masa’ pun ada di sana. Selain itu,  medsos itu  sendiri tidak satu macam  jenisnya. Ada WA, FB, IG, Cookpad, BBM, Pinterest, Line, dan sebagainya, dan sebagainya...  Yang  apabila semuanya saya pakai maka kapasitas ponsel saya tidak akan mampu menampungnya. Menggunakan 7 jenis saja sudah menghabiskan banyak memori RAM mencapai 80% katanya. Subhanallah... ujian hidup di akhir zaman. Di era digital ini, di masa segala sesuatu bisa didapatkan dengan jari jemari. Sesuai dengan asal kata digital sendiri yaitu digitus, yang dalam bahasa Yunani berarti jari jemari.

 Semuanya bisa.  Mencari berita terbaru, menuntut ilmu, mencari teman yang lama & yang baru, mencari guru untuk ditiru, mencari musuh untuk dilawan, dan sebagainya, dan sebagainya. Semua tersedia, tergantung kita pemakainya menentukan pilihan. Akankah menjadi sumber kebaikan atau justru sumber keburukan.

Kembali ke cerita saya tadi, keasyikan saya dalam menggunakan medsos benar – benar menguras memori ponsel dan menghabiskan banyak waktu.  Bagaimanapun  saya berusaha mengerem  aktifitas ini, selalu ada jebakan-jebakan betmen dalam tiap aplikasi. Sekali memegang ponsel, satu sampai dua jam tidak cukup.  Dengan berbagai alasan saya tidak mau menghentikannya.
“Mi... Mi... sudah...” berulang kali suami mengingatkan.
“Sebentar, Bi. Aduh resep ini sepertinya sangat enak. Abi pasti suka!”
“Mi...”
“Iya iya... lihat ini, Bi. Ada berita bla bla bla.
“Mi...!”
“Qi qi qi...  lucu orang-orang ini, Bi. Teman-teman sekolah dulu. Obrolannya berantakan betul. Sebentar ya, Umi balas chat mereka.”
“Miii...!!!”
Dan berbagai macam alasan lainnya pun dipakai untuk pembenaran sebuah kesibukan yang teramat menyita waktu. Pekerjaan rumah tangga yang bisanya diselesaikan dengan dengan multi task dan cepat, harus dijeda – jeda dengan kegiatan pegang ponsel setiap saat. Terkadang.. gorengan hangus, urusan lain dalam rumah terbengkalai, anak-anak pun terabaikan. Bahkan kegiatan menyusui bayi pun tetap mencuri-curi pegang ponsel. Memang begitulah, satu perbuatan buruk akan diikuti oleh perbuatan buruk lainnya.

 Semula hanya mencuri-curi. Lama kelamaan obrolan di berbagai aplikasi tadi semakin seru. Berita-berita di time line semakin menarik dan panas. Resep masakan makin menumpuk untuk dicontek. Sehingga sampailah pada titik mencuri-curi memandang mata bayi. Sebab, fokus sudah beralih pada ponsel.

Laa illaa ha illallaah...

Mata bayi yang indah terabaikan karena sebuah layar tanpa nyawa. Astagfirullah...
Pada banyak kasus yang saya dengar, hal seperti ini bisa menyebabkan  putusnya ikatan hati antara ibu dan bayi. Yang seringkali membawa efek negatif pada perkembangan psikologinya kelak.

Yaa Humaira... Untunglah dirimu bayi yang berbeda...
Bayi saya seolah menyadari apa yang tengah saya lakukan. Ia kehilangan konsentrasinya. Tidak mau ‘melekat’ pada saya. Ia lebih memilih bermain dengan jari jarinya. Atau merengek – rengek gelisah. Sampai kedua tangan saya kembali memeluknya. Tanpa ponsel. Tanpa menyambi. Dia tidak akan tertidur sebelum saya kembali menatapnya dengan hangat.  Memeluknya, erat, ‘lekat’. Tentunya dengan kedua tangan saya.

Baarakallaahufiiki nak...  terima kasih telah mengingatkan ummi.
Semoga Allah selalu menjagamu sayang...


--------------------------------------------------------------------
Waktu Berlalu Begitu Cepatnya
Ibnul Qoyyim rahimahullah mengatakan, “Waktu manusia adalah umurnya yang sebenarnya. Waktu tersebut adalah waktu yang dimanfaatkan untuk mendapatkan kehidupan yang abadi, penuh kenikmatan dan terbebas dari kesempitan dan adzab yang pedih. Ketahuilah bahwa berlalunya waktu lebih cepat dari berjalannya awan (mendung).
Barangsiapa yang waktunya hanya untuk ketaatan dan beribadah pada Allah, maka itulah waktu dan umurnya yang sebenarnya. Selain itu tidak dinilai sebagai kehidupannya, namun hanya teranggap seperti kehidupan binatang ternak.”
---------------------------------------------------------------

Yeyen Syafrina
Solok, 10 Desember 2016


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku 61 Kisah Pengantar Tidur [IMRC 2015]

Untukmu... Suamiku

Drama Korea vs Hafalan Qur'an